"Setiap kata tentu punya makna, bahkan juga punya daya. Seorang penulis yang baik, akan menimbang bobot ketepatan makna dan daya kata yang dipilih untuk menyampaikan pesannya secara optimal kepada pembaca. Demikian juga, ketika membacakan sebuah karya, seorang pembaca yang baik harus memahami makna dan daya kata yang telah dipilih dengan seksama oleh penulisnya. Dengan pemahaman tersebut, ia akan mengoptimalkan pembacaannya," begitulah pengantar yang diberikan Noereska dalam buku (tepatnya dumi) Geladi Kata: Antologi Artikel Populer Komunitas Literasi Blora (selanjutnya disingkat GK).
Dijelaskan lebih jauh bahwa inti pemahaman tersebut ditanamkan  sebagai bekal dasar bagi tiga puluh orang peserta (mewakili komunitas) dalam kegiatan penulisan artikel populer (7/10/2024) yang diselenggarakan oleh Rumah Literasi (RuLi) Blora bekerja sama dengan Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
"Bagaimana Mas, apakah isi buku ini sudah layak baca? Tidak mengecewakan?" begitu rentetan pertanyaan Mas Noereska saat menyampaikan buku GK ke Omah Ampiran (5/11/2024).
Buku dengan cover daun jati berwarna hijau pupus, saya buka berulang kali. Meskipun ditulis secara spontan, tapi tulisan peserta  cukup memuaskan. Mereka mampu menampilkan kearifan lokal masyarakat Blora dan sekitarnya berkaitan dengan tradisi, budaya, kuliner, dan kehidupan sosial.Â
Tulisan tersebut ada yang berbentuk opini, rerasan, gerundelan, bahkan ngudarasa mengenai hal-hal yang  dirasakan kurang sreg.Â
Lewat tulisan "Taman Budaya Cepu: Oase Hijau di Tengah Kota", Nurlaela (Komunitas Impressera) rerasan mengenai upaya pemerintah kabupaten Blora membangun taman yang menawarkan ketenangan, ditanami pepohonan rindang menghijau, dilengkapi bangku taman, dan pendestrian di sekitar terminal bus dan Pasar Induk Cepu (meskipun belum selesai sepenuhnya).
Jika semula ruang publik tersebut diharapkan bermanfaat sebagai tempat refreshing, kenyataannya banyak masyarakat  kurang peduli terhadap keberadaan taman tersebut. Mereka dengan santai membuang sampah di sekitar taman. Ia berharap pembangunan Taman Budaya Cepu dapat segera diselesaikan dan masyarakat handarbeni, memiliki sikap positif terhadap fasilitas umum tersebut.
Rerasan senada disampaikan Susi Wahyuningsih (Komunitas MUSABA) lewat tulisan "Menyoal Kawasan Blok T Blora". Kawasan Blok T berada  di jalan Pemuda, merupakan bekas terminal lama. Kawasan direkondisi menjadi kawasan ekonomi (sebagai pusat oleh-oleh khas Blora) guna meningkatkan pendapatan UMKM kota Blora.
Di tepi sebelah barat Blok-T berderet  lima belas kios, terdapat agen bus malam jurusan  Blora-Jakarta. Sementara di sisi sebelah timur berjajar kios/lapak PKL dan angkringan, salah satunya warung  Mbak Sumiati. Warung ini menyediakan makanan khas Blora berupa  nasi jagung dilengkapi sayur lompong lombok ijo, walang goreng pedas, mangut, dan  oseng ungker (ulat pohon jati).
Semula zona kawasan Blok-T begitu ramai karena tempatnya  luas, strategis, dekat dengan pusat kota Blora.  Pada malam hari terdapat aneka permainan anak-anak dan hiburan grup musik atau  akustikan yang tampil di panggung.Â
Tapi semakin ke sini, kawasan Blok-T kian sepi karena jarang ada event, kurang terawat, dan terkesan kumuh. Tentu situasi ini menggelisahkan Mbak Sumiati karena warungnya menjadi sepi, upayanya memasyarakatkan kuliner khas Blora terancam gulung tikar. Â Ia berharap Blok T mendapat perhatian pemerintah, sehingga bisa seramai dulu: bersih dan didukung banyak event.
Cerita mengenai kopi khas Blora  dapat ditelusuri dari tulisan "Kopi Santen: Ketidaksengajaan Berbuah Kebanggaan" (Kukuh Sri Handayani-Forum Lingkar Pena Blora), "Menikmati Kopi Santan yang Bikin Ketagihan" (Sri Astutik-Komunitas Moncer), "Kopi Kothok Mbah Seger, Nikmatnya Secangkir Tradisi dari Cepu" (Pupuk Setiyana-Komunitas Lentera) dan "Menikmati  Secangkir Kopi Kothok dalam Semilir Angin Sawah di Blora" (Tri Yuli Setyoningrum-Komunitas Aksi Tanggap Literasi).