Museum Nasional (Museum Gajah) pernah meminta dirinya untuk mempresentasikan bagaimana menghadirkan pameran sastra-peta perjalanan sastra Indonesia- di ruang tetap museum.Â
"Sebenarnya kita tidak punya imaji bagaimana menghadirkan sastra di museum. Teman-teman tidak bisa membayangkan bagaimana menghadirkan sastra di ruang pameran. Kita punya persoalan dengan proses pengkurasian untuk pameran karya sastra. Karena lingkaran pembayangan teman-teman, media pameran sastra hanya sebatas teks sastra," ujar Esha.
Selebihnya, lelaki berkaca mata itu menyatakan bahwa kesulitan menghadirkan museum sastra karena para sastrawan tidak mudah bersinergi dengan teman-teman dari disiplin lain. Padahal hakikat museum sastra itu tidak sebatas tekstual. Harus ada ruang pamer sastra yang juga berkaitan dengan teman-teman dari seni rupa dan disiplin lainnya.
Museum sastra Yogyakarta, kalau terwujud, sebaiknya hanya merepresentasikan sastra Indonesia di Yogyakarta agar pengelolaannya lebih mudah. Kemungkinan saja museum sastra bisa terwujud karena banyak teman-teman di Yogya merupakan arsiparis. Selebihnya, Yogya merupakan rumah para sastrawan (Esha)
Narasumber lain, Raudal Tanjung Banua (sastrawan, Komunitas Rumah Lebah) dan Muhidin M Dahlan (dokumentator partikelir Warung Arsip) sepakat bahwa mendirikan museum sastra merupakan kerja besar yang tidak mudah diwujudkan.
"Tidak pernah ada situs-situs sastra yang tercantum dalam peta kota Yogyakarta, informasi-informasi tempat wisata, sebagaimana jamak kita temukan di Eropa. Saya membaca dengan intens catatan perjalanan Sigit Susanto dan Anton Kurnia yang punya minat khusus mengunjungi situs-situs sastra di sejumlah negara di Eropa," papar Raudal.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa situs-situs sastra, termasuk rumah-rumah para sastrawan (tempat melahirkan karya-karya masterpiece), kafe tempat nongkrong, termasuk makam para sastrawan itu semua mudah ditemukan di luar negeri karena dicantumkan secara resmi di peta kota.
Dalam catatan perjalanan Sigit maupun Anton, tidak pernah ditemukan pengertian museum sastra secara menyeluruh, utuh. Tetapi lebih lebih kepada perorangan, person-person sebagai sastrawan. Rumah tinggal sastrawan dijadikan museum yang kemudian dihubungkan dengan berbagai titik tempat sastrawan tersebut berproses kreatif.
"Jadi cita-cita mendirikan museum sastra secara general tampaknya tidak mudah diwujudkan. Kenyataannya di luar negeri, museum sastra dipahami secara gradual personal berupa situs-situs sastra perorangan," ujar Raudal.
Langkah terbaik untuk mendirikan museum sastra adalah menyadarkan masyarakat luas bahwa situs-situs sastrawan di Yogya itu ada dan penting. Tradisi penghormatan terhadap sastrawan juga perlu dilakukan.
Sayangnya, banyak indikasi yang menunjukan bahwa nama-nama sastrawan ternyata tidak dikenal, tidak layak jual, dan penghargaan terhadap sastrawan sangat minim.Â
Penyair Joko Pinurbo (Jokpin), misalnya, baru dikenali masyarakat dan pengurus kampung Wirobrajan sebagai sastrawan besar setelah Jokpin berpulang ke alam keabadian.