Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kompasiana Pancen Oye!

10 Oktober 2024   17:25 Diperbarui: 13 Oktober 2024   05:35 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi pengkolan Ngadirejo/Foto: Hermard

Kompasiana pancen oye! Begitulah decak kagum yang ingin saya teriakan sambil jingkrak-jingkrak mengelilingi Gelora Bung Karno menjelang ulang tahun ke-16 Kompasiana dengan ajakan: Empat kali empat, enam belas. Sempat, tidak sempat ucapkan ultah Kompasiana ke-enam belas!

Kompasiana merupakan tempat berlabuh saya setelah media cetak (koran), terutama koran lokal, mulai mengalami keterpurukan: gulung tikar, honor berkurang drastis, ruang seni-sastra dan budaya hidup segan mati tak hendak. Kalau semula halaman seni budaya satu halaman penuh, kemudian bekurang menjadi setengah halaman. 

Celakanya kalau banyak iklan masuk, termasuk ucapan duka cita, maka yang menjadi korban adalah halaman seni budaya, bukan halaman olah raga, hiburan, ekonomi, maupun opini. Artinya pada saat iklan berjibun, halaman seni budaya menjadi sasaran tembak yang empuk untuk dilumpuhkan! 

Menghadapi kenyataan seperti ini, saya bertanya dalam hati, apakah  kita memang bangsa yang berbudaya, benar-benar mengutamakan kebudayaan?

Situasi tersebut menyebabkan saya harus pindah ke media online agar kegemaran menulis tetap bisa dilakukan dengan nyaman. Kompasiana menjadi pilihan karena merupakan platform blog untuk semua orang; berbasiskan user- generated, setiap konten-baik artikel, foto, video, dan komentar- dibuat dan ditayangkan langsung oleh Kompasianer. 

Dengan slogan "Beyond Blogging" -lebih dari sekedar ngeblog- mencerminkan semangat dan tekad pengelola Kompasiana menghadirkan sesuatu yang lebih bermakna dan bernilai bagi pengguna. Selain itu, Kompasiana merupakan blog bergengsi dengan sederet penghargaan yang diterima: Asian Digital Media Awards-2010 (Best in Digital Content - User Generated Content) WAN-IFRA, Kanal Blog Citizen Journalism Terbaik dari Pesta Blogger 2010, dan Marketeers Netizen Champion dari majalah Marketeers.

Setelah agak lama bergabung (terdaftar sejak 19 November 2022), saya menyadari bahwa Kompasiana ternyata bukan sekadar media bertukar ide melalui berbagi tulisan, namun juga berfungsi sebagai media sesrawungan, sapa aruh antarkompasianer. 

Di samping itu, yang saya suka, Kompasiana (melalui kerja admin) berfungsi pula menjadi semacam bank arsip yang mencatat (sekaligus mendokumentasikan) berapa tulisan yang dihasilkan, jumlah pembaca, interaksi, komentar, point yang dicapai, jumlah artikel utama, artikel pilihan bagi masing-masing Kompasianer. Hal ini menjadi penting karena para Kompasianer memiliki data berkaitan dengan jumlah dan nasib tulisan yang dihasilkan.

Banyak Kompasianer yang menginspirasi dan berkesan bagi saya: Dab Sirpa, Mbak Henni Triana, Mbak Isti Yogiswandani, Mbak Suprihati, Mbak Halimah Maysaroh, dan Neng Itha Abimanyu. 

Meskipun tinggal di belahan Amerika dan jarang menulis, tetapi Dab Sirpa kerap singgah serta meninggalkan komentar di setiap tulisan saya. Kebetulan ketika kuliah di Yogya, ia tinggal di wilayah Petinggen, bersebelahan dengan kampung Jetisharjo, tempat tinggal saya semasa kanak-kanak. Jadi dalam kesempatan tegur sapa, kami seperti berada dalam lingkaran "satu tanah air" AM Sangaji (jalan besar yang melintasi Petinggen-Jetisharjo) sehingga kalau saling berkomentar berani waton nyelekop!

Mbak Henni saya kagumi karena tulisan-tulisannya mengenai Jerman begitu inspiratif dan memberi wawasan baru. Tiga perempuan lainnya, Mbak Isti, Mbak Suprihatin, dan Mbak Halimah, tulisan mereka selalu menginspirasi. Tulisan Mbak Isti bercerita mengenai beragam kuliner Madiun yang menggugah selera dan kisah perjalanan ke tempat-tempat  menarik. 

Kompasianer Mbak Suprihati dalam tulisannya setia memperhatikan perbaikan lingkungan hidup. Sedangkan Mbak Halimah sangat peduli dengan perkembangan dunia pendidikan di Pulau Buru.

Hal yang juga menginspirasi saya dan membuat kagum ke Mbak Henni, Mbak Isti, Mbak Suprihati, dan Mbak Halimah, banyak tulisan mereka dipilih editor Kompasiana sebagai Artikel Utama. Sedangkan kekaguman terhadap Neng Itha karena kesetiaannya pada puisi.

Di sisi lain, baik Mbak Isti maupun Mbak Suprihati selalu bersedia membaca tulisan-tulisan saya dari A sampai Z, terbukti dengan komentar-komentar mereka menyangkut isi tulisan yang tak pernah meleset.  

Bahkan Mbak Isti menebak dengan jitu tulisan "Bang Totok Keling: Ngeli ning Aja Nganti Keli" (Kompasiana, 18/8/2024) merupakan cerita mengenai diri saya sendiri lewat kacamata tokoh lain-dan  perempuan yang tinggal di Madiun itu serta merta saya tuduh sebagai dukun.

"Bukan dukun Pak, tapi ini analisis ilmiah. Maklum saya termasuk yang suka membaca artikel Pak Herry sampai tuntas. Jadi saat membaca artikel ini langsung terkumpul serpihan tulisan Pak Herry yang banyak kesamaannya dengan Bang Totok. Kalau jadi dukun, takutnya banyak pasien karena  ramalannya jitu," gurau Mbak Isti di kolom komentar.

Mbak Suprihati kerap menerawang kegiatan saya, sehingga dalam artikel "Omah Ampiran Kompasiana" (5/2/2024) dan "Belajar Pengampunan dari Wit Tanjung, Hadiah Sastra Rancage 2024" (19/2/2024) tetap tak bisa berpaling dari Yogyakarta, bahkan dari Ibu Negara Omah Ampiran.

"Kompasianer yang memiliki kekhasan kosa kata omah ampiran, beliau Mas Herry Mardianto. Sastrawan yang bermukim di DIY. (Eh Yogyakarta juga omah ampiran ya terbuat dari rindu memanggil balik untuk mampir). Beliau bersama Ibu Negara Omah Ampiran aktif di Kompasiana. Menganggit artikel, membaca tulisan sahabat pun mampir uluk salam hingga berkenan singgah di teras untuk ngobrol aneka topik. Secara harafiah beliau juga membuka tempat tinggalnya sebagai omah ampiran. Terasa keakraban suasana Omah Ampiran dari banyak artikel karya beliau. Utamanya para pegiat sastra, mampir bercengkerama hingga membuat dan mengeksekusi perhelatan sastra," tulis Mbok Suprihati.

Beberapa kutipan tersebut setidaknya memperlihatkan  dampak positif ketika saya tergabung dalam platform Kompasiana. Terjadi relasi komunikasi  untuk saling asah, asih, asuh, Kompasianer satu dengan lainnya.

Kalau ditanya mana tulisan yang paling berkesan, hampir semuanya berkesan. Terlebih tulisan yang sebelum tayang mendapat notifikasi Admin Kompasiana (mengenai pantas tidaknya dimuat), tetapi beberapa waktu kemudian menjadi Artikel Utama. 

Juga tulisan cepete yang biasa-biasa saja, tidak berharap menjadi AU, e, tiba-tiba menjadi Artikel Utama. Pun sebaliknya, artikel ditulis dengan super serius, berharap AU, ternyata mandek di Artikel Pilihan. Memang benar apa yang dikatakan sebagian Kompasianer jika Artikel Utama itu merupakan misteri, mirakel, hanya Editor Kompasiana yang memegang kunci rahasianya!

Kopi pengkolan Ngadirejo/Foto: Hermard
Kopi pengkolan Ngadirejo/Foto: Hermard
Artikel  "Kopi Pengkolan Ngadirejo di Kaki Gunung Sindoro" (13/5/2023) merupakan salah satu artikel yang begitu membekas. Bukan karena terpilih sebagai Artikel Utama, tetapi bagaimana tanpa diduga saya bertemu dengan Pak Joko Sungkono  yang tengah menyangrai kopi menggunakan wadah modifikasi dari tabung gas melon tiga kilo gram. 

Joko Jumprit/Foto: Hermard
Joko Jumprit/Foto: Hermard
Sesudah berbincang agak lama, terkuak rahasia kalau Pak Joko Sungkono alias Joko Jumprit dengan penampilan sangat bersahaja itu bukan orang sembarangan. Di Jumprit, ia dikenal sebagai peracik kopi yang ampuh. Bersama isteri dan kelima anaknya, ia bersarang nyaman di pengkolan jalan Ngadirejo, persis di seberang petilasan Umbul Jumprit.

Jadi jangan heran dan penasaran, jika Kompasianer memasuki desa Ngadirejo, di sebuah jalan menanjak, pada dinding tinggi tempat pemakaman umum, di kanan jalan, kita akan terpaku pada tulisan berukuran besar: Mau Goreng Kopi? Serahkan Kepada Luwaknya: Joko Jumprit Coffee. Hem ternyata Joko Jumprit adalah luwaknya kopi Ngadirejo!

Pernikahan Savitri/Foto: Hermard
Pernikahan Savitri/Foto: Hermard
Cerita pendek "Pernikahan Savitri" (1/1/2024) saya tulis sebagai kado pernikahan teman baik, Mas HP, yang menikah untuk kedua kalinya setelah isteri pertamanya berpulang ke alam keabadian. Cerita ini terinspirasi dari keluhan dan grenengan Mbak S (isteri kedua) kepada Ibu Negara Omah Ampiran. 

Ia mengeluh karena perannya sebagai isteri-ingin melayani suami dengan sepenuh hati belum bisa terwujud. Hal itu terjadi karena setiap pagi dan sore hari, Mas HP dibuatkan kopi, teh panas,  oleh anak perempuannya yang masih tinggal serumah. 

Bahkan Mas HP selalu mengantar jemput kerja, mengantar belanja anak perempuan satu-satunya itu. Kenyataan ini membuat ia sebagai isteri tidak enak hati. Setiap hal ini dibicarakan dengan suami, Mas HP selalu bilang kalau ia juga tidak bisa lepas dari anak kesayangannya.

Dari persoalan inilah cerpen "Pernikahan Savitri" saya tulis, bagaimana seharusnya kehidupan keluarga setelah pernikahan, apakah seorang ayah tetap memilih anak kesayangan atau isteri tercinta yang baru dinikahi?

Setelah cerpen itu muncul di Kompasiana dan tepat satu tahun usia pernikahan mereka, cerpen itu saya forward ke Mas HP. Dari isterinya, Ibu Negara Omah Ampiran mendapat cerita kalau Mas HP membaca cerpen itu dengan penuh haru, mbrebes mili...

Travel story/Foto: Hermard
Travel story/Foto: Hermard
Menulis di Kompasiana ternyata, disadari maupun tidak, meningkatkan personal branding, memaksimalkan potensi diri dalam bidang kepenulisan.

Bagi saya, menulis merupakan sarana  yang kuat untuk memperlihatkan keahlian, sudut pandang, dan nilai-nilai pribadi yang kita miliki. Menulis artikel di platform Kompasiana  membantu saya dalam berbagi wawasan dan pengetahuan di bidang seni, sosial budaya, dan sesekali politik. Hal ini merupakan upaya menunjukkan minat dan keahlian dalam membangun otoritas di berbagai bidang tersebut.

Melalui tulisan, saya pun berbagi kisah perjalanan (travel story), kuliner,  pengalaman merengkuh dunia kesenian, hidup mengasyikan di desa, menjadi narasumber kegiatan kepenulisan, dan lain sebagainya yang tentu saja  semua itu membantu menciptakan relasi emosional dengan pembaca, sekaligus menunjukkan sisi autentik dan keunikan diri saya dengan apa adanya.

Agar tulisan menarik dan mampu menghipnotis pembaca, saya sarankan saat menulis, usahakan menawarkan sudut pandang atau solusi yang belum banyak dibahas. Hal ini akan melahirkan ide-ide segar dan orisinal.

Berusahalah selalu fokus pada bagaimana tulisan kita memberikan manfaat nyata bagi pembaca, baik dalam bentuk informasi, inspirasi, atau solusi praktis. Dengan begitu, kita akan lebih diingat dan dihargai.

Babon aniem Kotabaru/Foto: Hermard
Babon aniem Kotabaru/Foto: Hermard
Upaya menggabungkan konsistensi, keaslian, dan keahlian, niscaya akan menjadikan tulisan kita sebagai sarana efektif dalam meningkatkan personal branding,  di samping mampu membangun reputasi yang solid dari sisi pembaca.

Akhirnya, selamat ulang tahun Kompasiana, semoga semakin berjaya  sebagai platform beyond blogging, dan percayalah ini bukan igauan 16 Tahun Kompasiana  ...(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun