Bahkan Mbak Isti menebak dengan jitu tulisan "Bang Totok Keling: Ngeli ning Aja Nganti Keli" (Kompasiana, 18/8/2024) merupakan cerita mengenai diri saya sendiri lewat kacamata tokoh lain-dan  perempuan yang tinggal di Madiun itu serta merta saya tuduh sebagai dukun.
"Bukan dukun Pak, tapi ini analisis ilmiah. Maklum saya termasuk yang suka membaca artikel Pak Herry sampai tuntas. Jadi saat membaca artikel ini langsung terkumpul serpihan tulisan Pak Herry yang banyak kesamaannya dengan Bang Totok. Kalau jadi dukun, takutnya banyak pasien karena  ramalannya jitu," gurau Mbak Isti di kolom komentar.
Mbak Suprihatin kerap menerawang kegiatan saya, sehingga dalam artikel "Omah Ampiran Kompasiana" (5/2/2024) dan "Belajar Pengampunan dari Wit Tanjung, Hadiah Sastra Rancage 2024" (19/2/2024) tetap tak bisa berpaling dari Yogyakarta, bahkan dari Ibu Negara Omah Ampiran.
"Kompasianer yang memiliki kekhasan kosa kata omah ampiran, beliau Mas Herry Mardianto. Sastrawan yang bermukim di DIY. (Eh Yogyakarta juga omah ampiran ya terbuat dari rindu memanggil balik untuk mampir).
Beliau bersama Ibu Negara Omah Ampiran aktif di Kompasiana. Menganggit artikel, membaca tulisan sahabat pun mampir uluk salam hingga berkenan singgah di teras untuk ngobrol aneka topik. Secara harafiah beliau juga membuka tempat tinggalnya sebagai omah ampiran. Terasa keakraban suasana Omah Ampiran dari banyak artikel karya beliau. Utamanya para pegiat sastra, mampir bercengkerama hingga membuat dan mengeksekusi perhelatan sastra," tulis Mbok Suprihatin.
Beberapa kutipan tersebut setidaknya memperlihatkan  dampak positif ketika saya tergabung dalam platform Kompasiana. Terjadi relasi komunikasi  untuk saling asah, asih, asuh, Kompasianer satu dengan lainnya.
Kalau ditanya mana tulisan yang paling berkesan, hampir semuanya berkesan. Terlebih tulisan yang sebelum tayang mendapat notifikasi Admin Kompasiana (mengenai pantas tidaknya dimuat), tetapi beberapa waktu kemudian menjadi Artikel Utama.Â
Juga tulisan cepete yang biasa-biasa saja, tidak berharap menjadi AU, e, tiba-tiba menjadi Artikel Utama. Pun sebaliknya, artikel ditulis dengan super serius, berharap AU, ternyata mandek di Artikel Pilihan. Memang benar apa yang dikatakan sebagian Kompasianer jika Artikel Utama itu merupakan misteri, mirakel, hanya Editor Kompasiana yang memegang kunci rahasianya!
Artikel  "Kopi Pengkolan Ngadirejo di Kaki Gunung Sindoro" (13/5/2023) merupakan salah satu artikel yang begitu membekas. Bukan karena terpilih sebagai Artikel Utama, tetapi bagaimana tanpa diduga saya bertemu dengan Pak Joko Sungkono  yang tengah menyangrai kopi menggunakan wadah modifikasi dari tabung gas melon tiga kilo gram.Â
Sesudah berbincang agak lama, terkuak kalau Pak Joko Sungkono alias Joko Jumprit dengan penampilan sangat bersahaja itu bukan orang sembarangan. Di Jumprit, ia dikenal sebagai peracik kopi yang ampuh. Bersama isteri dan kelima anaknya, ia bersarang nyaman di pengkolan jalan Ngadirejo, persis di seberang petilasan Umbul Jumprit.
Jadi jangan heran dan penasaran, jika Kompasianer memasuki desa Ngadirejo, di sebuah jalan menanjak, pada dinding tinggi tempat pemakaman umum, di kanan jalan, kita akan terpaku pada tulisan berukuran besar: Mau Goreng Kopi? Serahkan Kepada Luwaknya: Joko Jumprit Coffee. Hem ternyata Joko Jumprit adalah luwaknya kopi Ngadirejo!