"Seperti cinta, kopi bisa dinikmati siapa saja. Seperti kopi, cinta bisa dinikmati siapa saja. Apa bedanya menikmati dan merasakan? Apa pula bedanya dengan memiliki? Apa bedanya kopi dan cinta? Kopi bisa habis demikian juga cinta. Pada ke mana? Ke hati, atau ke kenangan?"
Begitulah penggalan cerita pendek "Cinta dalam Secangkir Kopi" karya Ninuk Retno Raras  yang dibacakan Nana Lusiana Boediman secara ekspresif dengan nada dan tempo pembacaan yang begitu syahdu, mampu menarik perhatian hadirin saat peluncuran buku Paradoksal: Kumpulan Cerpen 18 Penulis Perempuan dalam pertemuan Sastra Bulan Purnama edisi 156 dengan tajuk "Kisah-kisah Perempuan di Bulan Purnama", bertempat di halaman Museum Sandi, Yogyakarta (28/9/2024).
Acara ditandai dengan penyerahan antologi oleh penggagas penerbitan antologi, Nunung Rieta, kepada Museum Sandi, Ons Untoro (koordinator Komunitas Sastra Bulan Purnama), dan Herry Mardianto (pemerhati sastra).
"Saya merasa bersyukur penerbitan antologi dengan penulis para perempuan ini akhirnya terwujud. Semoga dalam waktu mendatang hadir Paradoksal-paradoksal lainnya," harap Nunung saat peluncuran.
Salah seorang pembaca perempuan yang mencuri perhatian adalah Julia von Knebel. Ia mengenakan kebaya modern dengan kain batik melilit di tubuhnya. Perempuan muda yang berasal dari Jerman itu fasih berbahasa Indonesia dan berhasil membacakan penggalan cerpen "Perempuan Bermata Coklat" karya Maria Widy Aryani dengan apik.Â
Dalam sambutan di awal acara, Ons Untoro berharap agar  para penulis perempuan terus berkarya tanpa henti.
"Sebagai cerpenis, maka tanggung jawabnya adalah terus menulis dan menulis dengan setia. Jangan berharap atau mempunyai motivasi akan mendapatkan penghargaan. Kalau menulis hanya untuk lomba atau ingin mendapatkan penghargaan semata, maka Anda bukan cerpenis sesungguhnya," ujar Ons mengingatkan.
Di sisi lain, persoalan cinta dan keluarga, terasa relevan dalam memberikan kesempatan bereksplorasi sekaligus mengekspresikan dunia para penulis perempuan.
Tarik ulur antara tradisi dan modernisasi disajikan cukup menarik dalam cerpen "Nyiur Anakku" (Ana Ratri). Mengungkapkan kegelisahan tokoh Pak Joko karena halaman depan rumahnya terkena proyek pelebaran jalan. Di halaman itulah ia bersama isterinya menanam dua pohon kelapa untuk menandai kelahiran anak-anak mereka.Â
Bagi orang Jawa, menanam pohon merupakan salah satu ritual untuk menandai kelahiran anak. Pohon itu ditanam disertai doa dan sebagai simbol saudara antara pohon dan anak yang dilahirkan. Anak-anak mereka pun tahu kalau mereka ditanamkan pohon yang sebaiknya mereka anggap sebagai saudara sendiri.Â
Ketika anak telah jauh pergi merantau, orangtua selalu setia menjaga pohon-pohon itu, karena merasa anak-anak mereka masih ada bersama mereka.
Muncul konflik dan ketakutan Pak Joko, bagaimana mungkin ia akan menyampaikan berita bahwa mereka akan kehilangan pohon kelapa sebagai tetenger dan sedulur bagi anaknya?
"Dua pohon kelapa itu adalah saudara anak-anakku, aku nggak tega menyampaikan ini kepada mereka, aku juga teringat sama almarhum isteriku dulu kami menanam pohon itu dengan doa bersama-sama aku binggung mesti bagaimana." Begitulah kata hati Pak Joko.
Ketakutan Pak Joko mengalami antiklimaks saat ia mendapatkan jawaban tak terduga dari anaknya lewat telepon. Anaknya sama sekali tidak berkeberatan apalagi sedih kehilangan pohon kelapanya. Toh itu hanya sebatang pohon, bila tidak ditebang pun akan tumbang oleh waktu...
Permasalahan sosial-ekonomi dituturkan dengan baik dalam cerpen "Arisan" (Yuliani Kumudaswari). Keberhasilannya mongontraskan suasana saat suami masih bekerja dan berlimpah harta dengan suasana prihatin, menyedihkan, saat suami sudah pensiun.Â
Semula, arisan merupakan ajang pamer kekayaan: tas branded, perhiasan, pakaian, mobil, dan lainnya; uang hanya untuk bersenang-senang. Mereka lupa menabung, lupa kalau hanya menempati rumah dinas. Begitu suami pensiun, mereka tidak siap menghadapi situasi yang tidak lagi nyaman dari sisi ekonomi.Â
Begitulah akhirnya Bu Tono mengalami kebingungan karena  harus hidup di rumah kontrakan. Ia jatuh sakit karena memikirkan anak-anaknya yang masih memerlukan biaya kuliah.
Tentu cerpen-cerpen lainnya tidak kalah menarik dengan berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang dijadikan ide penulisan.
Jika dicari-cari kekurangan antologi ini, maka lebih berkaitan dengan masalah kebahasaan yang harus dicermati lagi. Saya percaya hal itu terjadi semata-mata  karena ketergesaan penerbitan antologi agar dapat segera dinikmati masyarakat luas. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI