Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nasib Baik Aksara Ulu di Tangan Rapanie

16 September 2024   12:37 Diperbarui: 16 September 2024   17:23 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukanlah suatu kebetulan saat Omah Ampiran (11/9/2024) kedatangan tamu "istimewa", Ahmad Rapanie Igama (60), pelestari aksara Ulu (Kaganga) Sumatera Selatan, penerima Anugerah Seni Batanghari Sembilan kategori Seni Sastra Gubernur Sumatera Selatan, Anugerah Kebudayaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia kategori Pelestari (2016).

Usai mengikuti kegiatan Temu Aksara di Rumah Lifepatch, Bausasran, Yogyakarta, kemudian singgah ke Omah Ampiran dengan obrolan seputar aksara, sosial budaya, perkembangan sastra bersama Noer Indrijatno, pendiri Komunitas Rumah Literasi Blora.

Dulu ketika kuliah di Fakultas Sastra UGM, kami terlibat dalam penerbitan majalah mahasiswa sastra Indonesia, Humanitas, sama-sama tergabung dalam kelompok musik Watoni (waton muni-asal bunyi), aktif di Kelompok Pencinta Sastra Bulaksumur (KPSB), dan menyelenggarakan berbagai acara seminar, simposium sastra.

Setelah beberapa saat ngobrol,
Rapanie (panggilan akrabnya), tanpa rasa canggung mengkritisi situasi sosial budaya masyarakat Indonesia saat ini.

"Sekarang banyak dari kita yang abai terhadap kebudayaan, sehingga solidaritas menurun jauh. Ada yang suka menghujat, ngomong seenaknya tanpa mikir-mikir lagi. Di samping terlalu banyak omong, kita juga terlalu banyak makan. Buktinya korupsi di mana-mana, maling di mana-mana. Untungnya bangsa kita tidak terlalu banyak tidur, masih mau kerja dan kerja-kerja," ungkapnya dengan nada prihatin.

Begitulah, polusi omongan terjadi di mana-mana. Sehingga yang namanya dusta menjadi banyak, kejujuran semakin sedikit. Fakta pun menjadi semakin sedikit, dibandingkan dengan realitas. Artinya, dalam kehidupan sekarang ini, orang lebih mengutamakan realitas artifisial daripada fakta, data sesungguhnya.

Aksara Kaganga/Foto: indonesiaplus.id
Aksara Kaganga/Foto: indonesiaplus.id

Aksara Simbol Peradaban

Begitu lulus kuliah, lelaki kelahiran tahun 1964 itu bekerja di Museum Balaputradewa, Disbudpar Palembang, dan kemudian
menjabat sebagai Kepala Taman Wisata dan Budaya Sumatera Selatan (2015-2016).

Ketertarikan terhadap aksara Kaganga dan naskah Ulu dimulai pada tahun 1996, saat menjadi pamong budaya Bidang Filologi Museum Negeri Sumsel, Balaputradewa. Museum Negeri Sumsel memiliki empat naskah beraksara Kaganga. Dua naskah berupa kakhas (semacam kitab terbuat dari kulit kayu), satu naskah gelumpai (berbentuk buluh bambu), dan satu naskah gelondongan dari bambu.

"Naskah-naskah itu nyaris tidak ada yang membaca. Terlantarnya naskah dengan aksara Kaganga patut disayangkan karena aksara Kaganga merupakan bukti tingginya kebudayaan, peradaban masyarakat Sumatera Selatan. Perlu diingat, tidak semua suku di Indonesia memiliki sistem aksara," tukas ayah dari tiga orang anak ini.

Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa aksara merupakan simbol budaya, filosofi, sejarah, dan identitas suatu peradaban. Mempelajari aksara merupakan upaya memahami bagaimana suatu bangsa berkomunikasi, merekam sejarah, dan mentransmisikan pengetahuan mereka dari generasi ke generasi.

Fungsi aksara dalam konteks ini dapat dikaitkan dengan temuan berbagai naskah dan prasasti. Aksara memainkan peran dalam naskah kuno maupun prasasti karena keduanya merupakan media utama guna mencatat sejarah peradaban masa lalu.

Aksara Pallawa (dari India) membawa pengaruh besar dan menjadi basis dari berbagai aksara di Nusantara, termasuk aksara Jawa Kuno dan aksara Ulu di Palembang. Masing-masing aksara ini berperan dalam perkembangan budaya dan sejarah di wilayah Nusantara, memberikan gambaran mengenai interaksi budaya, agama, dan politik pada masa lampau.

Prasasti Kedukan Bukit dari Kerajaan Sriwijaya (ditemukan CJ Batenburg, menggambarkan kemajuan pelayaran di Indonesia pada masa Hindu-Buddha) menggunakan aksara Pallawa. Aksara ini banyak dipakai dalam prasasti-prasasti awal di Nusantara, khususnya pada abad ke empat hingga ke tujuh Masehi. 

Aksara Pallawa dituliskan dalam prasasti kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia, seperti Tarumanagara dan Sriwijaya. Aksara Ulu diyakini berasal dari aksara Brahmi melalui aksara Palawa dan berkembang seiring dengan peran kerajaan Sriwijaya.

Di Jawa terdapat Prasasti Canggal (ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir, Magelang), dengan aksara Pallawa, berbahasa Sanskerta. Prasasti ini mencatat keterangan penting tentang perkembangan Kerajaan Mataram Kuno pada masa pemerintahan Raja Sanjaya.

Selain itu terdapat Prasasti Kalasan (berangka tahun 700 Saka, berisi keterangan mengenai ketaatan Mataram Kuno dalam hal penghormatan kepada Dewi Tara). Menggunakan aksara Pranagari dan berbahasa Sanskerta.

Terdapat beberapa prasasti dengan aksara turunan dari aksara Pallawa yang digunakan kerajaan Mataram Kuno maupun Majapahit sejak abad ke delapan hingga abad ke-16.

Paparan di atas menggambarkan peran dan fungsi aksara dalam prasasti-prasasti penting yang mencatat peristiwa politik, hukum, dan agama.

"Uniknya naskah yang saya baca di Sumatera Selatan dan Lampung, sangat erat berkaitan dengan Jawa. Huruf Ulu tetapi bahasanya Jawa. Dari sini saya menyadari pentingnya studi kekerabatan dalam memahami naskah-naskah masa lalu. Hal ini dimaksudkan agar dalam memahami naskah-naskah lama dapat melahirkan pemikiran-pemikiran lebih bijaksana, ada titik temu pemahaman, tidak kontradiktif," harap Rapanie.

Pemahaman dasar aksara Ulu/Foto: dokpri Rapanie
Pemahaman dasar aksara Ulu/Foto: dokpri Rapanie

Jejak Langkah Mencintai Aksara Ulu

Lelaki pembina Komunitas Aksara Ulu Sumatera Selatan ini, dikenal juga sebagai penulis puisi lewat antologi tunggal Potret Bingkai (1998), Bilakah Pelayaran Malam Berakhir (2000), dan Airmata Makam (2005).

Salah satu kinerja yang patut dibanggakan berkaitan dengan upaya memperkenalkan kembali naskah Ulu. Berkat kegigihannya mempelajari naskah Ulu, berperan sebagai pengkaji, menjadikan Serat Ulu mendapat sertifikat Warisan Budaya Tak-Benda (WBTB).

Keinginannya memperdalam aksara Ulu terdorong setelah bertemu dengan Prof Dr Sarwit Sarwono dari Universitas Bengkulu pada forum Manassa di Bogor tahun 1996. Selanjutnya berkenalan dengan sejarawan Lubuklinggau, Suwandi Syam.

Naskah aksara Ulu yang pertama kali dibaca adalah Gelumpai Nabi Muhammad koleksi Museum Balaputradewa. Berupa empat belas bilah bambu beraksara Ulu, berbahasa Jawa.

Hasil kajian ini diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2005. Naskah tersebut diperkirakan dari abad keenam belas, berisi riwayat Nabi Muhammad SAW.

"Ini menggambarkan kuatnya multikulturalisme masyarakat Sumatera Selatan ratusan tahun silam. Adanya keberagaman budaya yang saling melengkapi," ujar Rapanie.

Selanjutnya ia melakukan kajian terhadap naskah gelondongan bambu Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Palembang tahun 2007. Pertengahan 2010, bersama tim ekspedisi arkeologi menemukan serat Ulu berisi diagram penanggalan, arah matahari, dan ilmu bercocok tanam.

Aksara Ulu di bilah bambu/Foto: Kompas-Rhama Purna Jati
Aksara Ulu di bilah bambu/Foto: Kompas-Rhama Purna Jati
Tahun 2013 Rapanie diminta Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang, Prof Dr HJ Suyuthi Pulungan, mengajar aksara Ulu bagi mahasiswa.

Tahun 2014 diundang Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) dalam forum internasional Workshop on Endangered Scripts of Southeast Asia dengan menyampaikan gagasan lewat makalah "Surat Ulu: Tradisi Tulis Sumatera Selatan".

la meyakini masih banyak ilmu praktis yang dituliskan dalam naskah Ulu, salah satunya ilmu bangunan rumah adat dengan sistem bongkar pasang. Sayangnya sampai sekarang tidak banyak masyarakat yang berkeinginan mempelajari aksara Ulu.

Rapanie memiliki motivasi kuat memasyarakatkan aksara tradisional (aksara Ulu) seperti yang dilakukan Pemda Yogyakarta dengan melekatkan aksara Jawa di papan nama jalan, perkantoran, surat dinas, bahkan di tempat fasilitas umum.

Memudarnya Aksara di Indonesia

Dari referensi diketahui bahwa terdapat lebih dari lima puluh aksara tradisional di Indonesia, tersebar di berbagai daerah.
Beberapa di antaranya masih digunakan secara terbatas, sementara yang lain telah punah atau nyaris hilang dari penggunaan sehari-hari. Aksara tradisional (daerah) yang masih ditemui/digunakan antara lain aksara Jawa, Bali, Batak, Bugis (Lontara), Rejang (Kaganga), Sunda, dan Lampung.

Memudarnya penggunaan aksara tradisional disebabkan oleh kehadiran alfabet Latin ( diperkenalkan penjajah Belanda) sebagai sistem penulisan resmi untuk pendidikan, administrasi, dan komunikasi. 

Tidak diajarkannya aksara tradisional di sekolah-sekolah, membuat generasi muda tidak lagi memiliki akses atau keterampilan membaca dan menulis aksara tersebut.

Solusi agar aksara tradisional dapat dipertahankan keberadaannya adalah dengan mengintegrasikan pembelajaran aksara tradisional ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah, terutama di wilayah yang memiliki warisan aksara tradisional. Pelajaran mengenai aksara dapat dijadikan bagian dari mata pelajaran bahasa daerah atau sejarah budaya lokal.

Cara lain dapat ditempuh dengan mempromosikan penggunaan aksara tradisional dalam ranah seni, misalnya melalui desain grafis, mural, atau pada pakaian dan produk lokal.

Melestarikan aksara tradisional dapat juga dengan melibatkan komunitas lokal lewat penyelenggaraan festival budaya atau lomba menulis menggunakan aksara tradisional.

Pemerintah daerah bisa menerapkan penggunaan aksara tradisional yang dilekatkan pada nama-nama jalan, bangunan publik, dan dokumen resmi sebagai bentuk pelestarian. Hal ini bisa kita temui di kota Yogyakarta dan Bali.

Nama jalan dengan aksara Jawa/Foto: Kompas.com-Glori K Wadrianto
Nama jalan dengan aksara Jawa/Foto: Kompas.com-Glori K Wadrianto
Cara lain dengan melakukan penelitian, mendokumentasikan aksara-aksara yang hampir punah, serta pembuatan kamus atau panduan penggunaan aksara. Dokumentasi ini penting untuk memastikan bahwa pengetahuan tentang aksara tetap tersimpan dan bisa dipelajari pada masa mendatang. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun