Jejak Langkah Mencintai Aksara Ulu
Lelaki pembina Komunitas Aksara Ulu Sumatera Selatan ini, dikenal juga sebagai penulis puisi lewat antologi tunggal Potret Bingkai (1998), Bilakah Pelayaran Malam Berakhir (2000), dan Airmata Makam (2005).
Salah satu kinerja yang patut dibanggakan berkaitan dengan upaya memperkenalkan kembali naskah Ulu. Berkat kegigihannya mempelajari naskah Ulu, berperan sebagai pengkaji, menjadikan Serat Ulu mendapat sertifikat Warisan Budaya Tak-Benda (WBTB).
Keinginannya memperdalam aksara Ulu terdorong setelah bertemu dengan Prof Dr Sarwit Sarwono dari Universitas Bengkulu pada forum Manassa di Bogor tahun 1996. Selanjutnya berkenalan dengan sejarawan Lubuklinggau, Suwandi Syam.
Naskah aksara Ulu yang pertama kali dibaca adalah Gelumpai Nabi Muhammad koleksi Museum Balaputradewa. Berupa empat belas bilah bambu beraksara Ulu, berbahasa Jawa.
Hasil kajian ini diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2005. Naskah tersebut diperkirakan dari abad keenam belas, berisi riwayat Nabi Muhammad SAW.
"Ini menggambarkan kuatnya multikulturalisme masyarakat Sumatera Selatan ratusan tahun silam. Adanya keberagaman budaya yang saling melengkapi," ujar Rapanie.
Selanjutnya ia melakukan kajian terhadap naskah gelondongan bambu Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Palembang tahun 2007. Pertengahan 2010, bersama tim ekspedisi arkeologi menemukan serat Ulu berisi diagram penanggalan, arah matahari, dan ilmu bercocok tanam.
Humaniora Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang, Prof Dr HJ Suyuthi Pulungan, mengajar aksara Ulu bagi mahasiswa.
Tahun 2013 Rapanie diminta Dekan Fakultas Adab danTahun 2014 diundang Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) dalam forum internasional Workshop on Endangered Scripts of Southeast Asia dengan menyampaikan gagasan lewat makalah "Surat Ulu: Tradisi Tulis Sumatera Selatan".