Orang bisa saja berdecak kagum mendengarkan kemerduan suara dan kemampuan Eva Celia membawakan lagu "Prahara Cinta" ketika berduet bersama Indra Lesmana. Banyak penonton yang bertepuk tangan begitu perempuan manis itu mengakhiri lagunya. Sementara ada yang merasa biasa saja dengan kemampuan Eva Celia membawakan lagu-lagu berirama jazzy dengan sempurna.
Lha iyalah suaranya bagus, wajahnya cantik, bisa memainkan gitar, menguasai irama jaz. Ayahnya, Indra Lesmana, dan ibunya, Sophia Latjuba, keduanya penyanyi beken. Selain itu, Indra Lesmana sudah  malang-melintang di dunia jaz, menguasai berbagai alat musik dengan skill yang tidak diragukan lagi.
Bahkan ayah Indra, Jack Lesmana, tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan musik jaz di Indonesia. Ia merupakan salah satu legenda musik jaz Indonesia.
Tanpa malu-malu, sejak sekolah dasar membantu kedua orang tuanya, Hadinarko dan Kasmiyati, pedagang, berjualan ikan di pasar. Ia pun menggeluti pekerjaan mengasapi dan memindang ikan. Sesekali  tampil menari atau menyanyi di kampung-kampung nelayan dengan bayaran tiga sampai lima ribu rupiah.Â
Selepas SMP, perempuan  kelahiran 29 September 1980, yang sejak kecil mengaku tidak mempunyai cita-cita itu, masuk ke SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) Jurusan Karawitan di Yogyakarta. Isteri dari Herwan Prandoko (Koko) menganggap bahwa kemerduan suaranya merupakan anugerah, semacam gift pemberian Tuhan.
"Untungnya saat masuk ke Yogya langsung dirangkul sama seniman-seniman  senior. Sehingga aku terbimbing, terdidik dengan hal-hal yang positif," ungkap Soimah dalam tayangan podcast Raffi Ahmad.
Lalu apa yang membedakan keberadaan  Eva Celia dan Soimah Pancawati dalam konteks dunia seni/keartisan? Eva berangkat dari kenyataan bahwa bakat seninya mengalir dari darah bapak-ibu, bahkan kakeknya.Â
Konon, apabila seorang anak berasal dari keluarga dengan latar belakang seni yang begitu kuat, besar kemungkinan  akan memiliki bakat seni yang tinggi-- dipengaruhi aspek-aspek kemampuan seni, seperti keterampilan motorik estetik, imajinasi, dan kreativitas orang tua.Â
Darah seni Eva tidak bisa dilepaskan dari identitas keluarga. Artinya, kemampuan alaminya menyanyi dan bermain musik diturunkan melalui keluarga. Di sisi lain, Soimah mencapai ketenaran sebagai artis karena sejak di SMKI, Â ia berusaha keras meningkatkan kemampuan menyinden,menyanyikan lagu-lagu Jawa, dan dangdut.Â
Tidak hanya berhenti di situ, ia juga mengikuti berbagai komunitas yang ada di Yogyakarta, menjadi peserta lomba menyanyi di berbagai event untuk terus menggembleng kemampuan sebagai sinden dan penyanyi.
Dari ayahnya, ia "kecipratan" sedikit pompaan darah seni. Di samping sebagai pedagang ikan, sesekali Hadinarko, sang ayah,  ikut pentas kethoprak. Tapi kegiatan pentas kethoprak hanya dilakukan sak kobere (sesempatnya), bukan dunia yang dihayati dengan sungguh-sungguh dan mendominasi jalan hidupnya.
Dengan begitu, tidak ada keterkaitan  kuat antara latar belakang keluarga (utamanya keluarga inti) dengan kemampuan seni Soimah. Kenyataannya, seni bukan merupakan bagian dominan dari identitas keluarga Hadinarko.
Untuk mengembangkan  minat bernyanyi, Soimah  terus berlatih (lewat sekolah, komunitas, dan berbagai lomba menyanyi) karena ibu dan tantenya menyadari bahwa Soimah memiliki potensi besar untuk menjadi penyanyi/artis hebat di masa depan.
Jujur, saya sendiri merasa tidak punya bakat menulis. Menulis adalah jalan sesat yang menemukan kebenaran dalam diri saya. Seandainya saya tidak menaruh dendam kepada guru bahasa Indonesia saat SMA, maka pasti tidak ada niatan membuktikan diri mampu menulis. Bisa saja  saya  meneruskan keinginan kuliah di Biologi UGM, bukan di Fakultas Sastra.Â
Sejak semula saya menyadari bahwa jalan yang ditempuh tidak akan mudah karena  tidak punya bakat menulis. Ayah seorang pegawai negeri dan ibu hanya berdiam di rumah. Begitu orang tua mengetahui saya diterima di Fakultas Sastra, mereka hanya pasrah. Tapi herannya, saya merasa memiliki potensi menulis. Tinggal bagaimana cara mengembangkan kemampuan agar dapat menulis dengan baik.Â
Untuk merealisasikan keinginan itu, maka hal sederhana yang saya lakukan adalah membaca buku-buku berkaitan dengan masalah sosial budaya dan politik serta sastra yang ditulis oleh Kuntowijoyo, Umar Kayam, Ignas Kleden, Romo Mangunwijaya, Sapardi Djoko Damono, Sartono Kartodirdjo, Gunawan Mohammad, Jakob Oetama, dan nama besar lainnya. Â
Di samping itu, saya membaca banyak koran, utamanya  Kompas Minggu.  Membaca beragam artikel, mempelajari bagaimana teknik dan konvensi penulisan artikel populer di surat kabar. Dari situlah saya memberanikan diri menulis.Â
Bekal lain yang saya jadikan amunisi adalah membuka-buka KBBI, EYD,  dan  Tesaurus. Belajar membedakan kata baku dan tidak baku, mencermati mana penulisan  yang benar---di sana atau disana, anti kekerasan atau antikekerasan---dan memilih sinonim kata dengan tepat.Â
Pelajaran lain saya dapatkan dari penulis-penulis senior: bagaimana menciptakan  judul menarik, membuat paragraf pembuka untuk menimbulkan kesan menggoda agar pembaca berkeinginan terus membaca, menulis paragraf penutup agar bisa meninggalkan kesan yang terus melekat bagi pembaca.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI