Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Darah Seni, Bakat, dan Potensi Diri

6 September 2024   08:59 Diperbarui: 6 September 2024   12:50 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak hanya berhenti di situ, ia juga mengikuti berbagai komunitas yang ada di Yogyakarta, menjadi peserta lomba menyanyi di berbagai event untuk terus menggembleng kemampuan sebagai sinden dan penyanyi.

Dari ayahnya, ia "kecipratan" sedikit pompaan darah seni. Di samping sebagai pedagang ikan, sesekali Hadinarko, sang ayah,  ikut pentas kethoprak. Tapi kegiatan pentas kethoprak hanya dilakukan sak kobere (sesempatnya), bukan dunia yang dihayati dengan sungguh-sungguh dan mendominasi jalan hidupnya.

Dengan begitu, tidak ada keterkaitan  kuat antara latar belakang keluarga (utamanya keluarga inti) dengan kemampuan seni Soimah. Kenyataannya, seni bukan merupakan bagian dominan dari identitas keluarga Hadinarko.

Untuk mengembangkan  minat bernyanyi, Soimah  terus berlatih (lewat sekolah, komunitas, dan berbagai lomba menyanyi) karena ibu dan tantenya menyadari bahwa Soimah memiliki potensi besar untuk menjadi penyanyi/artis hebat di masa depan.

Tulisan-tulisan berkelas/Foto: Hermard
Tulisan-tulisan berkelas/Foto: Hermard
Sekarang mari  bertanya kepada diri sendiri, siapa di antara kita yang dalam menulis memang memiliki kemampuan  merangkai kata, membuat kalimat dan paragraf dengan mudah? Sekaligus memiliki imajinasi dan ide-ide cemerlang yang terus mengalir, sehingga kegiatan menulis semudah membalikan telapak tangan?

Jujur, saya sendiri merasa tidak punya bakat menulis. Menulis adalah jalan sesat yang menemukan kebenaran dalam diri saya. Seandainya saya tidak menaruh dendam kepada guru bahasa Indonesia saat SMA, maka pasti tidak ada niatan membuktikan diri mampu menulis. Bisa saja  saya  meneruskan keinginan kuliah di Biologi UGM, bukan di Fakultas Sastra. 

Sejak semula saya menyadari bahwa jalan yang ditempuh tidak akan mudah karena  tidak punya bakat menulis. Ayah seorang pegawai negeri dan ibu hanya berdiam di rumah. Begitu orang tua mengetahui saya diterima di Fakultas Sastra, mereka hanya pasrah. Tapi herannya, saya merasa memiliki potensi menulis. Tinggal bagaimana cara mengembangkan kemampuan agar dapat menulis dengan baik. 

Untuk merealisasikan keinginan itu, maka hal sederhana yang saya lakukan adalah membaca buku-buku berkaitan dengan masalah sosial budaya dan politik serta sastra yang ditulis oleh Kuntowijoyo, Umar Kayam, Ignas Kleden, Romo Mangunwijaya, Sapardi Djoko Damono, Sartono Kartodirdjo, Gunawan Mohammad, Jakob Oetama, dan nama besar lainnya.  

Di samping itu, saya membaca banyak koran, utamanya   Kompas Minggu.  Membaca beragam artikel, mempelajari bagaimana teknik dan konvensi penulisan artikel populer di surat kabar. Dari situlah saya memberanikan diri menulis. 

Bekal lain yang saya jadikan amunisi adalah membuka-buka KBBI, EYD,  dan  Tesaurus. Belajar membedakan kata baku dan tidak baku, mencermati mana penulisan  yang benar---di sana atau disana, anti kekerasan atau antikekerasan---dan memilih sinonim kata dengan tepat. 

Pelajaran lain saya dapatkan dari penulis-penulis senior: bagaimana menciptakan  judul menarik, membuat paragraf pembuka untuk menimbulkan kesan menggoda agar pembaca berkeinginan terus membaca, menulis paragraf penutup agar bisa meninggalkan kesan yang terus melekat bagi pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun