"Tantangan bagi musisi muda sekarang PR-nya banyak banget. Tidak hanya harus bisa bermusik tetapi punya mentalitas baja. Tidak cuma hanya membuat satu lagu yang bagus, nyanyi dengan sepenuh hati, dan membuat video klip yang keren. Tapi videonya juga harus viral di tiktok, tayang di instagram. Selain itu mampu menanggapi "kicauan-kicauan" nitizen di media sosial yang kadang terlalu pedas, tidak beredukasi,  membuat polusi  dalam kreativitas seorang penyanyi," jelas Agun C Sasmi, penerima  penghargaan prestisius Chevalier des Arts et Lettres dari pemerintah Prancis.
Pemikiran cerdas itu dilontarkan Anggun menjawab pertanyaan  artis cantik dan berbakat, Novia Bachmid (22), saat menjadi salah seorang panelis  dalam acara Q & A  Metro TV (28/7/2024).Â
Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan apa  yang harus dilakukan musisi muda Indonesia jika ingin berkarir di luar negeri.
Dalam konteks kekinian, jawaban Anggun menegaskan pentingnya  media sosial dalam kehidupan moderen. Meskipun seorang artis memiliki musikalitas bagus, bisa menyanyi dengan baik, tapi tanpa dukungan media sosial, ia tidak akan menjadi siapa-siapa.
 Artinya, media sosial memiliki peran  signifikan dalam kehidupan modern.  Media sosial  dapat dijadikan jembatan atau pintu masuk agar seseorang  bisa dengan mudah dikenal, terhubung satu dengan lainnya  di manapun berada.Â
Media sosial  bisa dijadikan platform efektif untuk pemasaran produk, membangun brand, dan berinteraksi dengan siapa pun.
Saat pertama kali menggunakan Facebook, saya hanya berniat mengembangkan hobi menulis, dapat terhubung dengan teman-teman dengan minat yang sama dan membangun jaringan.Â
Perkembangan selanjutnya, saat menjadi dosen tamu di salah satu perguruan tinggi swasta terkenal, berlokasi di Mrican, Yogyakarta; saya memanfaatkan Facebook dalam proses belajar mengajar (edukasi).Â
Lewat Facebook privat-terbatas (hanya beranggotakan saya dan para mahasiswa), semua materi kuliah saya unggah. Begitu juga setiap menyelesaikan tugas mata kuliah Penulisan Kreatif, mahasiswa wajib menggugah karya ke Facebook bersama. Mereka bebas mengapresiasi, mengkritisi karya-karya yang diunggah.Â
Media sosial ini pun saya gunakan  untuk membahas soal-soal ujian tengah semester dan akhir semester. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada mahasiswa yang mengeluh soal nilai ujian yang didapatkan karena mereka tahu letak kesalahan jawaban soal ujian.
Sayangnya dalam perkembangannya, Facebook menerapkan kebijakan baru, sehingga banyak tulisan (di konten catatan) sulit ditemukan dan dibaca lagi. Efeknya banyak dokumen yang "hilang" karena saya tidak tahu cara menemukannya kembali dengan mudah.Â
Sekarang saya memanfaatkan Facebook untuk tetap terhubung dengan komunitas, menulis status, menyebarluaskan tulisan yang dimuat Kompasiana, dan berbagi pengalaman.
foto-foto. Bagi saya, Instagram lebih fleksibel untuk berbagi dan menemukan konten visual serta lebih interaktif dengan berbagai fitur kreatifnya.Â
Pada awal tahun 2015, saat masih suka memotret, saya mencoba platform Instagram dengan tujuan sebagai media menayangkan dan menyimpanSaya masih ingat betul foto-foto  yang  diunggah saat awal mengenal Instagram. Ketika itu saya masih suka memotret model.
Dari model, ketertarikan saya berpindah ke foto-foto human interest, Â pemandangan alam/nature, dan lainnya. Semua dilakoni hanya sebatas hobi. Â Sesekali mengikuti acara hunting foto yang diselenggarakan oleh komunitas pecinta fotografi Yogyakarta.Â
Dari sini saya banyak belajar mengenai bagaimana teknik memotret yang baik dengan menyiasati cahaya, angle, dan pemanfaatan komposisi. Juga bagaimana cara menghasilkan foto bagus hanya dengan menggunakan kamera handphone.
Lewat Instagram, saya  merasa lebih bebas mengunggah foto dan mendapatkan banyak like dan apresiasi positif. Kondisi ini tercipta karena di Instagram, pertemanan saya lebih banyak dengan para penghobi foto (termasuk di dalamnya para model).
Media Sosial (dan) Keluarga
Di keluarga kami, hanya Ibu Negara Omah Ampiran  yang tidak berselancar di dunia sosial media.
"Memang benar media sosial menarik, mendekatkan kita dengan berbagai informasi. Terhubung satu dengan lainnya, mempermudah membangun jaringan. Tapi kalau sudah kecanduan bisa lupa diri, menghabiskan terlalu banyak waktu dan dapat mengurangi produktivitas," jelas Ibu Negara Omah Ampiran, sambil terus merajut.
Saya dan anak-anak (bahkan anak satu dengan lainnya) sengaja tidak terhubung di media sosial-- kami memang tidak membangun media sosial keluarga. Kondisi itu terjadi karena di samping berbeda minat juga dalam rangka  menjaga agar interaksi secara langsung tetap terjaga dengan baik (harmonis).Â
Bukankah  komunikasi dan interaksi langsung sering kali memiliki arti yang lebih baik bagi keluarga?
Di sisi lain, hal itu dilakukan agar  anggota keluarga  menjaga batasan antara kehidupan pribadi, hubungan keluarga, dan relationship dalam dunia maya.Â
Dengan begitu, hubungan relasi antarkeluarga tidak menjadi kikuk; di samping mengurangi potensi konflik atau kesalahpahaman yang bisa timbul dari unggahan atau komentar berbagai nitizen di media sosial.
Saya sepakat dengan pemikiran bahwa tidak semua orang harus memiliki media sosial, Â ini tergantung dari kebutuhan, preferensi, dan kondisi individu.Â
Keputusan  memiliki media sosial merupakan pilihan pribadi dengan memikirkan manfaat, dan kemungkinan risiko yang akan dialami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H