Sayangnya dalam perkembangannya, Facebook menerapkan kebijakan baru, sehingga banyak tulisan (di konten catatan) sulit ditemukan dan dibaca lagi. Efeknya banyak dokumen yang "hilang" karena saya tidak tahu cara menemukannya kembali dengan mudah.Â
Sekarang saya memanfaatkan Facebook untuk tetap terhubung dengan komunitas, menulis status, menyebarluaskan tulisan yang dimuat Kompasiana, dan berbagi pengalaman.
Saya masih ingat betul foto-foto  yang  diunggah saat awal mengenal Instagram. Ketika itu saya masih suka memotret model.
Dari sini saya banyak belajar mengenai bagaimana teknik memotret yang baik dengan menyiasati cahaya, angle, dan pemanfaatan komposisi. Juga bagaimana cara menghasilkan foto bagus hanya dengan menggunakan kamera handphone.
Lewat Instagram, saya  merasa lebih bebas mengunggah foto dan mendapatkan banyak like dan apresiasi positif. Kondisi ini tercipta karena di Instagram, pertemanan saya lebih banyak dengan para penghobi foto (termasuk di dalamnya para model).
Media Sosial (dan) Keluarga
Di keluarga kami, hanya Ibu Negara Omah Ampiran  yang tidak berselancar di dunia sosial media.
"Memang benar media sosial menarik, mendekatkan kita dengan berbagai informasi. Terhubung satu dengan lainnya, mempermudah membangun jaringan. Tapi kalau sudah kecanduan bisa lupa diri, menghabiskan terlalu banyak waktu dan dapat mengurangi produktivitas," jelas Ibu Negara Omah Ampiran, sambil terus merajut.
Saya dan anak-anak (bahkan anak satu dengan lainnya) sengaja tidak terhubung di media sosial-- kami memang tidak membangun media sosial keluarga. Kondisi itu terjadi karena di samping berbeda minat juga dalam rangka  menjaga agar interaksi secara langsung tetap terjaga dengan baik (harmonis).Â