Saking cintanya Herlina dengan kegiatan menulis, sehingga kalau ditanya soal hambatan menulis, ia tidak bisa memberikan jawaban. Tidaklah mengherankan jika dalam proses kreatif menulis, ia tidak pernah mengalami kemandekan.
Ia paling senang menulis novel. Tapi, banyak orang yang bertanya bagaimana ia bisa menulis banyak puisi dalam satu hari dan puisinya "berbunyi" Â semua.
"Saya hanya mencoba mengenal, menjahit banyak kosa kata. Kalau orang biasa menggunakan kata menyelam di sungai; saya mencoba menuliskan aku ingin menyelami matamu, menyelami dukamu-akulah gundah itu, akulah badai itu, misalnya. Tapi jahitan kata-kata itu tidak bisa lepas dari tema yang kita ambil," jelas Herlina penuh semangat.
Menjahit kata sebaiknya dimulai dengan upaya memperkaya kosa kata. Secara  sederhana dapat dilakukan dengan membaca berbagai referensi. Puisi merupakan pengalaman  masing-masing orang dengan ide yang bisa dicari, ditemukan, atau dari proses mendengarkan.
Puisi yang baik  mampu menggerakan batin pembacanya. Menulis apa pun perlu pembiasaan dan mau tidak mau harus mengenal banyak kosa kata.  Puisi itu sesungguhnya lebih ribet dibandingkan novel. Karya prosa (novel) bisa seenak-enaknya. Penulis bisa menjelas-jelaskan panjang lebar. Puisi tidak seperti itu. Cerpen pun kadang terbatasi oleh jumlah kata atau halaman.
Dalam hal puisi, Herlina prihatin melihat kenyataan yang terjadi. Dengan menyitir pendapat Kris Budiman, pengamat sastra dan kebudayaan, ia menyatakan bahwa  Indonesia  surplus penyair dan minus pembaca. Ini terjadi karena begitu banyaknya orang yang dengan mudah mengklaim dirinya sebagai penyair. Meskipun puisinya ditulis sendiri, disimpan sendiri, dan dibaca sendiri. Tentu hal ini sangat menyakitkan.
Kalau  menulis untuk sekadar tampil, maka kita wajib memperhatikan selera media. Misalkan penerbit Galang menyukai tulisan-tulisan bertema  kontroversial, Mizan lebih dekat dengan tulisan-tulisan Islami, maka kita harus menyesuaikan.
Di sisi lain, dalam menulis, kita tidak dapat melepaskan diri dari riset. Hal ini penting dilakukan agar pembaca  ikut merasakan dan terlibat dalam cerita.
Pernah saya tuliskan bahwa saat menulis novel Koella (Bersamamu dan Terluka), Herlinatiens melakukan riset berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan  para taruna Akpol, AAU, Akmil, dan AAL. Mencari tahu isi di buku kecil mereka. Sampai mencari tahu larangan yang tidak boleh dilanggar selama mengikuti pendidikan.
Tidak dapat disangkal bahwa fiksi  memiliki kenyataan dan logika di dalamnya.  Novel Koella mungkin bukan sekadar fiksi karena  berangkat dari cerita masa lalu seseorang secara nyata. Di sini strategi naratif atau bercerita menjadi penting, termasuk dalam menentukan sudut pandang.
Tak salah jika salah seorang pengamat sastra menyatakan  bahwa novel Herlinatiens memiliki kekuatan metaforis. Ia memilih kata, menyusun frase dan kalimat  dengan pemikiran yang kuat, bukan sekadar dituliskan. Kekuatan kata dan kalimat itulah yang mengkonstruksi pemikiran pembaca.