Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Obituari Joko Pinurbo: Celana dan Kebersahajaan

27 April 2024   16:13 Diperbarui: 29 April 2024   16:58 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Telentang di ranjang Jokpin memandang yang datang

"Terima kasih, Sakit kamu sudah mau menjenguk tubuhku yang selama ini terlalu sibuk."

(Sakit memang sahabat yang rajin silaturahmi, hanya saja seringkali kita suka tak peduli)

Sakit pun duduk, dengan tubuh membungkuk Seperti ingin bersujud di kening Jokpin yang hening

"Maaf, Bung Penyair," kata Sakit "kalau aku datang sendirian. Tadinya aku mau mengajak kata-kata agar ikut menjengukmu. Tapi, kini kata-kata juga sedang sekarat dan aku tak tahu dimana ia dirawat. Banyak kawan penyair tak lagi peduli padanya."

Mata Jokpin berkilat dan sakit tercekat saat melihat:

kata-kata seperti menetas dari mataNya.

Joko Pinurbo (drawing: Vincencius Dwimawan)/Foto: dokpri Hermard
Joko Pinurbo (drawing: Vincencius Dwimawan)/Foto: dokpri Hermard

Puisi "Menjenguk Jokpin" terasa sederhana tapi dalam situasi duka cita, saat Joko Pinurbo Berpulang (Sabtu 27/4/2024 di Rumah Sakit Panti Rapih), ia mampu menggedor-gedor relung hati terdalam. 

Ditulis oleh Pangeran Kunang-kunang alias Agus Noor, perupa sekaligus sastrawan, saat bersama Butet Kertaredjasa membezoek Joko Pinurbo-Jokpin (27/3/2024). 

Meskipun ketika itu Jokpin sudah bisa berkomunikasi dengan lancar, tapi penyair jebolan Universitas Sanata Dharma itu tetap tampak lemah. Selang oksigen setia menemani di ujung hidungnya.

Selamat jalan kawan/Foto: Dokumentasi pribadi Hermard
Selamat jalan kawan/Foto: Dokumentasi pribadi Hermard

Saya mulai berteman dengan penyair kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962, saat kami sama-sama mengajar di Universitas Sanata Dharma (USD). Bedanya, ia mengampu di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, sedangkan saya di Fakultas Sastra USD. 

Dalam setiap pertemuan di kampus, kami sering memperbincangkan sosok Dorethea Rosa Herliany. Bukan karena Dorethea perempuan dan kami laki-laki. Lebih dari itu karena Dorethea merupakan penyair (di samping menulis cerpen dan novel) jebolan FKIP USD, mengelola penerbitan Indonesia Tera, Magelang, dan penyair wanita ini menjadi panutan kegiatan sastra di Sanata Dharma. 

Berkat Dorethea pula, antologi puisi Celana mampu mengibarkan nama Jokpin di dunia kepenyairan, diterbitkan oleh Indonesia Tera (1999), dicetak ulang Gramedia Pustaka Utama (2018). 

Antologi lainnya yang diterbitkan Indonesia Tera adalah Di Bawah Kibaran Sarung (2001). Kedua buku antologi itu mendapat apresiasi positif dari masyarakat sastra. 

Buku puisi Celana memperoleh Hadiah Sastra Lontar (2001), Di Bawah Kibaran Sarung meraih Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2002). Berkat Celana dan Di Bawah Kibaran Sarung, Jokpin ditetapkan sebagai Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001.

Setelah ia tidak lagi mendosen, saya mendengar kabar bahwa Jokpin beralih profesi menjadi editor di salah satu penerbit ternama di Indonesia. 

Senyampang dengan itu, nama Jokpin terus meroket di dunia perpusian Indonesia. Bahkan ia dinilai sebagai penyair terbaik setelah Sapardi Djoko Damono. Puisi-puisinya dianggap membawa kebaruan dalam perkembangan perpuisian di Tanah Air.

Jadi tidak mengherankan jika ia mendapat penghargaan puisi terbaik Dewan Kesenian Jakarta, tokoh sastra versi majalah Tempo, dan menyabet penghargaan Khatulistiwa Literary Award lewat buku puisi Kekasihku (2017).

Kekasihku/Foto: Dokumentasi pribadi Hermard
Kekasihku/Foto: Dokumentasi pribadi Hermard
Terhadap buku itu, Karlina Supelli memberi testimoni,

"...dalam senyap Joko Pinurbo ada kejenakaan. Kejenakaan menyemburkan hangat jiwa dunia anak-anak, yang meredakan kelelahan. Sekejap saja; karena kemudian kejenakaan itu menelan kita dalam gelak kita sendiri (dan itu bukan karena dunia anak-anak pun bisa teramat dingin dan sepi)."

Sebelumnya, Jokpin mendapatkan anugerah Kusala Sastra Khatulistiwa (2016) berkat buku puisi Surat Kopi-berisi cuitan Jokpin di akun Twitter-nya.

Saat kami mengerjakan penerbitan buku proses kreatif sastra Yogyakarta, Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (2016), Jokpin mampir ke ruang kerja saya di bilangan Kotabaru.

"Mas, sudah punya buku ini? Kalau belum, mangga kagem panjenengan," ucapnya santun sembari memberikan buku Selamat Menunaikan Ibadah Puisi dan Borrowed Body & Other Poems (dalam tiga bahasa: Inggris, Jerman, dan Indonesia) yang sudah ditandatangani.

Dalam buku Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku, Jokpin dengan galau menceritakan jika namanya sebagai penyair tidak bisa dilepaskan dari celana, meskipun ia juga menulis mengenai hal-hal lain: kamar mandi, toilet, sarung, ranjang, tukang ojek, telepon, asu, terompet, kalender, batu. kopi, dan lainnya.

"Namun apa pun yang saya tulis, tetap saja orang tidak bisa melepaskan bayangan celana dalam sajak-sajak saya," jelasnya.

Sesungguhnya celana merupakan bagian dari upayanya memperkaya bahasa melalui kesuntukkan menulis puisi. Ia meyakini setiap pengarang dengan caranya masing-masing, memiliki komitmen memperkaya bahasa. Pemerkayaan itu berkitan dengan tema, kosakata, dan gaya pengungkapan.

Jokpin menulis puisi sejak tahun 1970-an-menghasilkan beberapa penghargaan dengan puluhan buku puisi. Jadi tidak mengherankan kalau pergelutannya yang begitu suntuk dengan puisi, menghantarkannya meraih Penghargaan Achmad Bakrie XIX tahun 2023.

Saat Jokpin menerima Penghargaan Achmad Bakrie 2023 (31/8) di Ciputra Artpreneur Theatre kawasan Kuningan, Jakarta, saya teringat kembali bagaimana Jokpin sambil tersenyum galau menceritakan seperti apa keluarganya merelakan dirinya menjadi seorang pengrajin sastra.

"Terima kasih untuk keluarga saya yang telah mendukung dan merelakan saya menjadi seorang pengrajin sastra, yang harus banyak bersabar dan tawakal menunggu datangnya hilal," ujarnya disambut tepuk tangan gegap gempita tamu undangan.

Sebelumnya, ia suntuk dengan ratusan puisi liris. Tapi setelah tanpa sengaja Jokpin menemukan buku puisi Sikat Gigi (Yudistira AN Masardi), suami dari Nurnaeni Amperawati Firmina ini terinspirasi menulis puisi dengan memanfaatkan bahasa sehari-hari. Dari sini Jokpin kemudian terus menulis puisi dan mempelajari bahasa sehari-hari secara konsisten dan produktif.

"Kosa kata bahasa Indonesia sangat kaya. Tinggal kita mempelajari, menekuni maknanya, dan menggabung-gabungkannya sehingga menjadi puisi yang menarik. Ada kata yang hampir sama tapi maknanya jauh berbeda," ujarnya dalam perbincangan di tepi Kali Code.

Mengenang Joko Pinurbo, adalah mengingat kesederhanaan penyair besar yang sangat santun terhadap siapa pun. Bagi saya, ia orang Sukabumi yang sudah sangat bersahaja dan njawani: ora neka-neka dan nrima ing pandum.

Puisi untuk Jokpin
Jokpin sedang tidur
Saat Maut, yang tampak kusut Memberinya selimut

"Kalau boleh," ujar Jokpin, "Aku pingin celana masa kecilku Buat kupakai di surga."
Maut berlinang airmata

Jokpin adalah kata-kata Yang terbaring di ranjang Menunggu mukjizat datang.

Agus Noor (17 November 2023)

Catatan: beberapa pokok pikiran tulisan ini mengacu pada tulisan saya di Kompasiana, "Joko Pinurbo: Kibaran Celana dan Penghargaan Achmad Bakrie".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun