Saat Kompasiana menawarkan topik pilihan mengenai miskinnya kosakata bahasa Indonesia, saya langsung teringat jawaban Revi Soekatno (dalam id.aquoro.com) beberapa tahun silam saat ditanya mengapa kosa kata dalam bahasa Jawa lebih banyak dibandingkan bahasa Indonesia?Â
Meskipun ia belum pernah membaca penelitian mengenai kosa kata bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, tetapi Revi meyakini bahasa Indonesia menyerap banyak sekali kata-kata dari bahasa-bahasa Eropa, sampai jumlahnya sekitar 10.000 kata.
Di sisi lain, bahasa Jawa  menyerap kurang lebih 12.500 kata dari bahasa Sanskerta, sementara yang kemudian ada dalam bahasa Indonesia sekitar 900-an kata.
Kosa kata bahasa Jawa  lebih banyak  didapati karena sejarah kesustraan Jawa lebih lama dan tanpa jeda, tidak seperti sejarah kesusastraan Indonesia dan Melayu, terbagi dalam beberapa angkatan.
Di ujung yang lain, saya sepakat dengan pemikiran Ari Subagyo saat membicarakan pemoderenan bahasa Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari perubahan arah ideologi bahasa Indonesia.Â
Poin dari gagasannya adalah ideologi bahasa Indonesia yang semula didasari ideologi vernakularisasi (pribumisasi)-menjadi bahasa persatuan dan bahasa negara-dengan keinginan memartabatkan jati diri bangsa. Bahkan pada gilirannya, bahasa Indonesia merupakan ideologi tentang nasionalisme, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan.Â
Tapi ketika bahasa Indonesia dikembangakan (dimoderenkan)-terutama menyangkut  kosa kata dan peristilahan, maka pilihannya adalah internationalism (bukan lagi vernakularisasi).Â
Menurut Subagyo, Â internasionalisme bahasa Indonesia pada awalnya merupakan konsekuensi logis dari terbatasnya peristilahan, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Situasi ini berdampak pada hadirnya berbagai kosa kata asing hingga menyebar ke pelosok desa: laundry, real estate, residence, supermarket, skin care, fried chicken, dan lainnya.
Para pengusaha pun lebih suka menggunakan susunan frasa bahasa Inggris: Â Cebongan Fried Chicken (bukan Ayam Goreng Cebongan), Olala Salon (bukan Salon Olala), Puri Margomulyo Estate (bukan Perumahan Puri Margomulyo), dan Jentera Wedding Organizer (bukan Penyelenggara Pernikahan Jentera) dengan alasan lebih enak dalam pengucapan dan pendengaran.
Selain perubahan ideologi bahasa yang menyebabkan kita harus menaturalisasi bahasa/istilah asing ke dalam bahasa Indonesia, efek lebih jauh menyebabkan keterbatasan kosa kata yang kita miliki.Â
Bersamaan dengan itu, masyarakat  pun tidak peduli kepada upaya pemartabatan bahasa Indonesia. Banyak yang masih menulis kata aktifitas, nafas, hapal, lobang, hakekat (bukan aktivitas, napas, hafal, lubang, hakikat).Â