"Gila, kemarin (29/3/2024) antre di kasir Mirota Palagan selama satu jam. Semua pembeli mendorong troli dan isinya berbagai kue lebaran, sirup, kurma, roti kering dalam jumlah banyak. Hanya troli kami yang isinya aneh dan jumlahnya tak seberapa: sabun, minyak goreng, dan keperluan harian lainnya untuk dijual lagi di warung," jelas Shanti, adik ipar dengan nada mengeluh.
Ia membuka warung kecil di perumahan Griya Taman Asri, Pandowoharjo, Sleman. Sebulan sekali  kulakan di Mirota Palagan karena harganya bersaing dibandingkan supermarket besar lain yang berdekatan, semua berlokasi di Jalan Palagan, Yogyakarta.Â
Mungkin karena alasan itu (lebih murah), dua supermarket besar lainnya kurang dijadikan acuan pembelanja bingkisan lebaran.
Saya pribadi tidak pernah berbelanja  berkaitan dengan tradisi memberi bingkisan lebaran, entah itu berupa parcel atau hampers.
Dulu sebelum kita mengenal istilah gratifikasi, semasa saya masih kanak-kanak, sebenarnya tradisi pemberian bingkisan lebaran terhadap orang-orang tertentu (untuk tidak menyebut pejabat daerah) sudah dilakukan sejak tahun 1970-an.Â
Ramadan, maka para pejabat akan mendapat kiriman limun (sirup), minuman kaleng, telur, tepung terigu, gula, kopi, roti kaleng, dan berbagai keperluan Ramadan lainnya, dalam jumlah yang tidak sedikit, dari para relasi.Â
Saya masih ingat benar bagaimana setiap memasuki bulan
Kiriman itu tentu saja terlihat di depan mata, diketahui para tetangga karena pengiriman menggunakan becak samping atau gerobak dorong. Pada saat itu di Kuala Tungkal belum ada kendaraan roda empat.Â
Para tetangga yang usil bisa melihat, Â menghitung berapa krat limun dan minuman kaleng yang diturunkan, berapa karung tepung yang dipanggul masuk rumah, berapa kotak telur yang diletakan di teras, berapa kantong gula-gula yang ditenteng.Â
Semakin mendekati lebaran, kian banyak pula kiriman yang datang dengan beraneka rupa barang. Seandainya mau, mungkin saja para penerima bingkisan itu bisa membuka warung kelontong usai lebaran.
Setelah tumbuh dewasa dan bekerja, anak-anak pun tidak menyiapkan bingkisan lebaran khusus buat kami sebagai orang tua. Paling mereka hanya bertanya, apakah bapak perlu baju koko, sarung, sajadah? Apakah ibu perlu mukena, selendang, atau lainnya?Â
Kemudian mereka menyerahkannya sebagai oleh-oleh saat mudik. Semua masih terbungkus tas kertas/plastik dari toko tempat mereka membeli, tidak dibungkus ala hampers atau sebagai hadiah istimewa.