Sejak kanak-kanak (tahun 1970-an), terutama di bulan Ramadan, secara alamiah saya sudah diajari soal toleransi. Pada bulan puasa, hampir semua warung makan tutup untuk menghormati masyarakat yang menjalankan ibadah puasa.Â
Kalaupun ada warung makan yang buka, dipastikan etalase, jendela, bahkan pintu masuk ke warung tertutup korden. Jangan berharap kita bisa melihat ayam, ikan goreng, petai, telur sambal balado, rendang daging yang ada di etalase.Â
Orang yang masuk ke warung makan pun terkadang sungkan dan clingak-clinguk, takut ketahuan kalau tidak puasa.
Tidak hanya persoalan makan, soal minum dan merokok pun, orang harus sembunyi-sembunyi agar tidak merasa malu jika dilihat orang lain.Â
Kekentalan toleransi di Tanjung Jabung, Kuala Tungkal itu jauh berbeda dengan apa yang saya rasakan saat pindah sekolah SMP ke Yogyakarta. Mungkin karena Yogyakarta lebih  heterogen, warung-warung makan, pada bulan puasa, masih banyak yang buka. Orang minum dan merokok seenaknya di sembarang tempat.Â
Baru lima tahun terakhir ini saya melihat ada sebagian warung makan yang memasang korden. Tentu saja lebih banyak yang semau gue dibandingkan yang bersedia menutup warung dengan korden.Â
Meskipun begitu, tingkat toleransi masyarakat Yogyakarta saat bulan Ramadan terlihat lebih gayeng. Sejak dua tahun lalu, para suster dan pastoran membagikan  sembako, ikut berjualan atau membeli takjil di pasar Ramadan.
Ketika berkunjung ke rumah adik ipar (pemeluk nasrani), ia bercerita sudah mendapatkan parcel dari beberapa anak didiknya yang ikut latihan karateka. Senangnya lagi saat sore pulang dari ngajar karate, pas lewat perempatan Degung, Sleman, beberapa kali diberi takjil gratis.
"Kemarin, belum lagi masuk halaman rumah, isteri sudah bertanya, dapat takjil apa tidak? Saya langsung membuka jok montor dan memberinya kotak takjil," jelas Yosias Imar bahagia.
Di perumahan Margomulyo Asri, khususnya di Gang Cempaka, justeru teman-teman nasrani yang secara suka rela berkeliling membangunkan sahur. Pada saat lebaran pun teman-teman nasrani bersilaturahmi ikut merayakan lebaran.
Perbedaan awal Ramadan dan perayaan Hari Raya Idul Fitri pun, seperti yang terjadi dua atau tiga tahun lalu, tidak menjadi persoalan signifikan antara warga perumahan dengan masyarakat desa. Kami yang akan ujung (halalbihalal) ke masyarakat desa, baru esoknya (hari kedua) bersilaturahmi karena umumnya mereka dari keluarga NU.
Ini merupakan salah satu cara memperkuat ikatan sosial dalam perberbedaan untuk mengurangi ketegangan dan meningkatkan kepercayaan satu sama lain. Perbedaan ini pun menyebabkan Pemda DIY dan Panitia PHBI menyiapkan tempat salat Ied dua hari berturut-turut.
Membangun toleransi menjadi hal penting, memungkinkan masyarakat hidup berdampingan, meskipun berbeda keyakinan, dan latar belakang berbeda.Â
Untungnya, pendidikan di Indonesia mengajarkan mengenai keragaman budaya, agama, dan pandangan politik yang memberikan  pemahaman positif dalam memandang perbedaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H