Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seni dan Budaya, Persoalan yang Kurang Seksi

11 Februari 2024   10:48 Diperbarui: 12 Februari 2024   09:59 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pameran seni lukis, mural, instalasi, dan poster. (Sumber gambar via kompas.com)

Seandainya ada lebih banyak kaum politik memahami  puisi, dan lebih banyak penyair tahu politik, saya yakin, dunia yang kita diami ini akan menjadi tempat yang sedikit lebih baik. (John F. Kennedy)

Kita tak perlu heran  jika sampai debat Capres kelima (4/2/2024),  ketiga capres belum mengelaborasi isu kebudayaan/kesenian. Bukankah sejak lampau kita (memang) terlalu abai terhadap masalah isu kesenian dan kebudayaan? 

Ketika tetangga (negara) sebelah mengklaim bahwa batik,  tarian, reog, wayang, kuda lumping merupakan milik mereka, barulah kita  ribut-ribut sendiri mencari bukti otentik sebagai pemilik  sah dari berbagai seni budaya yang diakui orang lain sebagai milik mereka. 

Hal ini terjadi karena sebagian masyarakat kita, termasuk pemerintah, mendudukan kebudayaan pada posisi  kurang strategis, kurang seksi, termasuk di dalamnya masalah sastra (bagian dari kebudayaan) yang hanya dipandang sebelah mata. 

Padahal isu mengenai kebudayaan  dan politik terkadang hadir sebagai pembicaraan hangat dan berkepanjangan.

Mempertimbangkan sastra budaya/Foto: Hermard
Mempertimbangkan sastra budaya/Foto: Hermard

Sastra dan Politik
Dalam konteks pembicaraan ini, saya teringat pemikiran Ariel Heryanto dalam perdebatan sastra kontekstual dan Sapardi Djoko  Damono saat menyampaikan pidato pengukuhan  sebagai guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Ariel menyatakan bahwa sastra tidak pernah terlepas dari kepentingan-kepentingan politis, keduanya memiliki persinggungan-persinggungan. 

Pembenaran pemikiran tersebut setidaknya dapat kita cermati dari kasus pelarangan terhadap seniman Butet Kartaredjasa untuk tidak berbicara terkait politik dalam pergelaran pentas teater Musuh Bebuyutan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (1/12/2023).

Musuh Bebuyutan di Yogya/dokpri: Hermard
Musuh Bebuyutan di Yogya/dokpri: Hermard
Contoh kasus serupa ditunjukkan Sapardi dengan tulisan dalam majalah Time edisi 5 Desember 1994.  Dimuat berita ringkas mengenai Wole Soyinka, seorang sastrawan Nigeria, yang terpaksa melarikan diri dari negaranya karena mendapat tekanan dari pemerintahnya. Wole Soyinka adalah dramawan terkemuka Afrika, orang pertama dari benua itu yang pada tahun 1986 menerima Hadiah Nobel untuk Kesusastraan. 

Di mata pemerintah kaum militer yang berkuasa di negeri itu sejak tahun 1993, ia dianggap terlalu keras berbicara membela demokrasi, mengungkapkan kritik   terhadap berbagai masalah sosial politik negerinya.

Novel menghebohkan tahun 1980-an/Foto: Hermard
Novel menghebohkan tahun 1980-an/Foto: Hermard
Contoh lain, kita masih ingat terhadap pelarangan peredaran buku-buku Pramoedya Ananta Toer (khususnya tetralogi Bumi Manusia) pada rezim Orde Baru.

Jaksa Agung Republik Indonesia dalam surat keputusannya No.052 melarang beredarnya buku berjudul Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa di seluruh wilayah hukum Indonesia. Buku tersebut dikarang oleh Pramoedya Ananta Toer dan diterbitkan PT Hasta Mitra serta dicetak oleh Percetakan 45 Jakarta.

Keputusan yang ditandatangani Jaksa Agung Ismail Saleh SH itu menyebutkan mewajibkan kepada yang menyimpan, memiliki memperdagangkan barang cetakan atau cetakan dengan judul tersebut agar menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan Negeri setempat untuk diteruskan ke Kejaksaan Agung RI.

Terjadi juga pelarangan pembacaan puisi yang dialami Rendra, Emha Ainun Nadjib. Pun juga beberapa kali pementasan teater N. Riantiarno, Teater Gandrik, mendapatkan kesulitan dalam perizinan. Umumnya pelarangan dan pembatasan itu tidak memiliki alasan yang  jelas.

Pada masa pemerintahan Orde Lama, Mochtar Lubis harus menjalani hukuman tanpa pengadilan  (Sapardi, 1994) karena menunjukkan sikap keras terhadap pemerintah. 

Akibatnya novel Senja di Jakarta-berisi pemikiran kritis Mochtar Lubis terhadap situasi sosial politik -- terpaksa diterbitkan di Inggris  oleh penerbit Hutchinson & Co, tidak diterbitkan di Jakarta.

Pemikiran kritis Mochtar Lubis/dokpri: Hermard
Pemikiran kritis Mochtar Lubis/dokpri: Hermard
Beberapa contoh pelarangan sastra di atas membuktikan bahwa hubungan antara sastra, sastrawan, masyarakat, dan pemerintah, tidaklah sederhana. 

Diperlukan pemikiran strategis oleh capres dan cawapres mengenai regulasi dan kebijakan agar masalah-masalah kesusastraan di masa mendatang dapat tumbuh dengan baik dan pemerintah memberi jaminan serta penghargaan terhadap dunia sastra atau kesenian pada umumnya.

Generasi Milenial dan Kebudayaan
Belakangan ini muncul gejala bahwa generasi muda tidak tertarik kepada seni dan  budaya, terlebih kepada seni/budaya tradisional.

Ketidaktertarikan generasi muda pada seni budaya tradisional dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, perubahan gaya hidup, dan kurangnya pemahaman terhadap  nilai-nilai budaya tradisional. 

Generasi melinial lebih asyik menikmati hiburan digital:  streaming video, media sosial, game online, podcast, dan konten kreatif di platform dunia maya. 

Beberapa  di antaranya bahkan melakukan terobosan inovatif secara bijak, atau sebaliknya, maha ngawur dalam memproduksi konten kreatif demi mendapat view sebanyak mungkin (viral), sehingga muncul berita-berita memilukan terhadap kreator konten kreatif.

Untuk mendekatkan seni budaya tradisional kepada kalangan generasi muda diperlukan upaya pemerintah  menyadarkan  generasi muda bahwa seni budaya (tradisional) merupakan aset penting yang patut dijaga, dirawat, dan dilestarikan keberadaannya.

Penanganan Masalah Kebudayaan
Kebijakan yang harus dipikirkan pemerintah (dalam konteks ini capres dan cawapres) tentu terkait dengan upaya memberikan perlindungan hukum  memadai bagi keberadaan berbagai kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang di Indonesia.

Dalam kerangka lebih besar sekaligus merenik, perlu disosialisasikan peraturan dalam rangka memperkuat mekanisme  perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual dan warisan budaya Indonesia (iNews.id), di samping menjaga diplomasi budaya melalui hubungan internasional. 

Banyaknya pekerjaan rumah  berkaitan dengan penanganan kebudayaan (termasuk di dalamnya kesenian), di masa depan, perlu kiranya pemerintah  memisahkan  kementerian pendidikan dan kementerian kebudayaan. 

Dengan pemisahan tersebut diharapkan penanganan kebudayaan menjadi lebih tepat sasaran, meningkatkan strategi penanganan masalah kebudayaan dengan memberikan perhatian khusus dan sumber daya yang lebih baik.

Pemerintah  perlu memperhatikan beberapa hal dalam penanganan kebudayaan, misalnya: (1) mendukung upaya pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya (termasuk situs sejarah, tradisi, dan kesenian) guna mencegah kepunahan budaya; (2) menyelenggarakan program pendidikan kebudayaan di sekolah, agar generasi muda memahami dan menghargai warisan budaya; (3) memberikan dukungan bagi seniman kreatif (termasuk seniman lokal) untuk berkembang dan berinovasi, serta mempromosikan seni dan budaya Indonesia di tingkat nasional dan internasional.

Selebihnya mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam upaya pelestarian budaya dan mengembangkan kebijakan dengan melibatkan masyarakat  luas; serta menguatkan perlindungan hak kekayaan intelektual terkait budaya, guna mencegah eksploitasi yang tidak sah.

Di samping itu, memperkuat diplomasi kebudayaan dan promosi budaya Indonesia di tingkat internasional untuk memperluas pengaruh budaya Indonesia di dunia.

Diharapkan dengan pendekatan holistik dan kolaboratif, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang mendukung keberlanjutan dan kemakmuran kebudayaan/kesastraan Indonesia. Setidaknya terobosan kebudayaan akan menjadikan persoalan kebudayaan dan kesastraan kian lebih seksi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun