Pramoedya Ananta Toer (khususnya tetralogi Bumi Manusia) pada rezim Orde Baru.
Contoh lain, kita masih ingat terhadap pelarangan peredaran buku-bukuJaksa Agung Republik Indonesia dalam surat keputusannya No.052 melarang beredarnya buku berjudul Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa di seluruh wilayah hukum Indonesia. Buku tersebut dikarang oleh Pramoedya Ananta Toer dan diterbitkan PT Hasta Mitra serta dicetak oleh Percetakan 45 Jakarta.
Keputusan yang ditandatangani Jaksa Agung Ismail Saleh SH itu menyebutkan mewajibkan kepada yang menyimpan, memiliki memperdagangkan barang cetakan atau cetakan dengan judul tersebut agar menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan Negeri setempat untuk diteruskan ke Kejaksaan Agung RI.
Terjadi juga pelarangan pembacaan puisi yang dialami Rendra, Emha Ainun Nadjib. Pun juga beberapa kali pementasan teater N. Riantiarno, Teater Gandrik, mendapatkan kesulitan dalam perizinan. Umumnya pelarangan dan pembatasan itu tidak memiliki alasan yang  jelas.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, Mochtar Lubis harus menjalani hukuman tanpa pengadilan  (Sapardi, 1994) karena menunjukkan sikap keras terhadap pemerintah.Â
Akibatnya novel Senja di Jakarta-berisi pemikiran kritis Mochtar Lubis terhadap situasi sosial politik -- terpaksa diterbitkan di Inggris  oleh penerbit Hutchinson & Co, tidak diterbitkan di Jakarta.
Beberapa contoh pelarangan sastra di atas membuktikan bahwa hubungan antara sastra, sastrawan, masyarakat, dan pemerintah, tidaklah sederhana.Â
Diperlukan pemikiran strategis oleh capres dan cawapres mengenai regulasi dan kebijakan agar masalah-masalah kesusastraan di masa mendatang dapat tumbuh dengan baik dan pemerintah memberi jaminan serta penghargaan terhadap dunia sastra atau kesenian pada umumnya.
Generasi Milenial dan Kebudayaan
Belakangan ini muncul gejala bahwa generasi muda tidak tertarik kepada seni dan  budaya, terlebih kepada seni/budaya tradisional.
Ketidaktertarikan generasi muda pada seni budaya tradisional dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, perubahan gaya hidup, dan kurangnya pemahaman terhadap  nilai-nilai budaya tradisional.Â
Generasi melinial lebih asyik menikmati hiburan digital: Â streaming video, media sosial, game online, podcast, dan konten kreatif di platform dunia maya.Â
Beberapa  di antaranya bahkan melakukan terobosan inovatif secara bijak, atau sebaliknya, maha ngawur dalam memproduksi konten kreatif demi mendapat view sebanyak mungkin (viral), sehingga muncul berita-berita memilukan terhadap kreator konten kreatif.