"Giri Sapto adalah lukisan Pak Saptohoedojo di alam. Melukis itu bisa di mana saja, tidak harus di kanvas," ujar Yani Saptohoedojo di Makam Giri Sapto (4/2/2024) dalam rangka persiapan haul 99 tahun  Saptohoedojo  dengan tagline Seni Budaya yang Menyatukan.
Haul diadakan di pelataran Makam Giri Sapto (6/2/2024) diisi  acara, antara lain, ziarah seniman dan budayawan, paduan suara, Tembang Suba Sita, New Ilir ilir (Knyut Kubro), Solo Guitar dan Puisi "Penyaksi Sejarah" (kolaborasi Heri Macan,  Evi Idawati), orasi budaya Prof Dwi Maryanto, dan penanaman pohon pocung dan kemenyan oleh Yani Saptohoedojo, didampingi  Prof Dwi Maryanto dan HMS Wibawa.
"Kami berharap acara berjalan khidmad karena diadakan di makam," harap Hary Sutrasno, ketua panitia.
Penghargaan Terhadap Seniman dan Budayawan
Makam seluas hampir lima hektar, berada di bukit Gajah, Â Girirejo, Â Imogiri, Yogyakarta, tidak jauh dari kompleks makam Raja Mataram.; dalam proses pembangunannya mendapat restu dari Ngersa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan lokasinya mendapat persetujuan KRT Suryapamo Hadiningrat, mantan Bupati Bantul.
Saptohoedojo sengaja membangun kompleks pemakaman ini secara diam-diam dalam rangka memberikan penghargaan terhadap seniman dan budayawan sebagai pahlawan. Meskipun mereka tidak membawa bedil (senjata), tetapi membawa kekuatan budaya, seni, dan slogan-slogan yang memberikan semangat  kepada pejuang dalam mempertahankan negara Indonesia dari penjajah.
tanah di Wukirsari yang kurang produktif untuk digunakan.
Menurut Yani, dalam upaya mewujudkan makam Giri Sapto, memang tidak mudah. Mereka berkeliling ke semua  kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak ada yang mau. Akhirnya KRT Suryapamo Hadiningrat, mantan Bupati Bantul, mengusulkanKemudian Saptohoedojo meminta izin sekaligus bertanya kepada Ngarsa Dalem, apakah diperkenankan membuat makam di sebelah barat kompleks makam Raja Mataram? Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberikan izin karena baginya tanpa seniman dan budayawan, kerajaan (istana) akan hampa. Kerajaan tidak mungkin dapat dipisahkan dari kesenian maupun kebudayaan.
Pembangunan mulai dilakukan pada tahun 1985 dengan melibatkan seratus pekerja karena lahannya sangat luas. Untuk memantau keberadaan dan pergerakan tukang, maka kaos mereka diberi angka dari 1 sampai 100.Â
Tanggal 6 Februari 1988 pembangunan selesai,  diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan nama Makam Seniman Pengharum Bangsa, tetapi  oleh Saptohoedojo kemudian diganti menjadi Makam Seniman dan Budayawan Giri Sapto.
Pintu masuk makam berbentuk lengkungan menyerupai pelangi, melambangkan  tujuh warna (mijikuhibiniu), menciptakan keindahan. Sekaligus menggambarkan bahwa Giri Sapto diperuntukan bagi berbagai seniman yang berprestasi, dikenal masyarakat luas, dan mendapat penghargaan dari pemerintah.
"Pak Sapto berpikir bahwa surga atau langit itu lapis tujuh, pelangi jumlah warnanya tujuh, dan Sapto juga bermakna tujuh, makanya dinamakan Giri Sapto, Makam Seniman dan Budayawan Pengharum Bangsa. Karena para budayawan dan senimanlah yang mengharumkan nama bangsa lewat karya-karya mereka," jelas Yani.
Berbeda dengan situasi makam pada umumnya yang terkesan angker dan wingit, Giri Sapto terasa adem dengan seratus pohon langka (pemberian Dinas Perkebunan, Bogor), penataan makam yang estetik-terbagi dalam tujuh lantai.Â
Setiap lantai ditandai dengan gentong besar bertuliskan aksara Jawa, berisi falsafah hidup orang Jawa, antara lain sura diro jayaningrat lebur dening pangastuti (segala sifat murka atau keras hati hanya bisa dikalahkan oleh kebijaksanaan, kesabaran, dan kelembutan) dan jer basuki mawa beya (mengajarkan manusia untuk senantiasa bekerja keras dalam menggapai apa yang diinginkan).Â
Hingga kini sudah ada enam puluh lima seniman/budayawan yang dimakamkan, antara lain Djoko Pekik, Â Kusbini, Handung Kussudyarsana, GM Sudarta, Ki Ledjar Subroto, Hasmi, Kirdjomulyo, Bondan Nusantara, dan Iman Budhi Santosa.
Sebagai seorang isteri, Yani Saptohoedojo berharap agar Giri Sapto dapat menjadi sarana edukasi bagi generasi muda, baik sebagai tempat berkemah, mengenal budayawan/seniman dan karya-karya mereka, tempat penelitian tumbuh kembang pohon langka, dan sebagainya. Guna menunjang itu, kemungkinan satu atau dua tahun ke depan akan dilakukan renovasi museum yang sudah ada, dan pengelolaannya diserahkan kepada Dinas Kebudayaan DIY.
Pointer saran: pohon-pohon langka perlu diberi nama (termasuk nama latinnya) dan setiap tingkat makam perlu diberi daftar nama untuk memudahkan pengunjung berziarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H