Sejak kanak-kanak, saya tiga bersaudara sudah dibiasakan orang tua makan bersama dalam satu meja. Sarapan, makan siang, dan makan malam, baru dimulai saat semua anggota keluarga mengelilingi meja makan, duduk menempati kursi masing-masing. Jika salah satu belum menduduki kursi, maka acara makan tidak akan dimulai, terlebih jika ibu  masih wira-wiri ke dapur, atau menjelang sarapan ayah masih menyiapkan tas echolac yang akan dibawa ke kantor.
Tradisi makan diawali dengan berdoa. Selama makan, ayah dan ibu melarang anak-anak berbicara karena akan mengurangi pemberian (rezeki) dari Tuhan. Kemudian nasi, sayur, dan lauk yang sudah diambil (ditaruh dalam  piring) harus habis, jika tidak,  nanti dimarahi Tuhan, begitu nasihat  ayah.Â
Aturan lainnya, saat makan tidak boleh berkecap (mengeluarkan suara). Jika sampai bersuara akan disamakan dengan bebek -- yang tidak pernah diam saat makan, mulutnya selalu mengeluarkan bunyi "cap..cap...cap!"
Terakhir, makan tidak boleh tergesa-gesa, harus dinikmati. Jika nasi masih panas, makannya dimulai dari pinggir sambil ditiup-tiup atau dikipasi.
Karena kami masih duduk di bangku sekolah dasar, patuh mengikuti perintah orang tua, semua kami kerjakan tanpa berani bertanya mengapa itu harus kami lakukan. Â Saat itu kami selalu hati-hati jika mengambil nasi, sayur, dan lauk. Dipertimbangkan dengan baik agar bisa dihabiskan, tidak menyisakannya di piring sedikit pun.Â
Kami benar-benar menikmati makanan yang dihidangkan ibu. Entah karena sambil merasakan manis, gurih, asin dengan mat-matan, atau memang saling menunggu, biasanya kami menyelesaikan "upacara" makan hampir bersamaan.
Obrolan ringan mengenai kegiatan di sekolah, rencana kegiatan keluarga, liburan, dan hal lainnya dilakukan setelah semua selesai makan. Biasanya obrolan akan lebih seru dan panjang setelah usai makan malam.Â
Lama-kelamaan, sampai  masuk SMA, keberadaan meja makan dalam keluarga kami saya rasakan menjadi sangat penting. Ia bukan sekadar tempat menikmati makanan, tetapi juga tempat keluarga berdiskusi, ngobrol, merencanakan sesuatu. Â
Selesai makan, kami tidak akan segera berlari meninggalkan meja makan, melainkan saling berbagi cerita mengenai apa pun yang kami alami, harapkan, dan rencanakan. Kami bercerita tanpa malu-malu, baik menyangkut kenakalan teman sekelas, dapat nilai terbaik, dimarahi guru, jam kosong, maupun mengenai kekalahan main kelereng.Â
Tentu jika habis sarapan, obrolan kami menjadi lebih singkat karena ayah harus berangkat ke kantor dan kami bertiga jalan kaki ke sekolah sejauh dua kilometer.
Diam-diam, saat duduk di kelas tiga SMA, saya berkeinginan kalau nanti sudah berkeluarga akan membeli meja makan yang bagus untuk tempat berkumpulnya keluarga dengan seribu satu cerita.Â
Saya masih ingat betul saat ayah menjual sepetak tanah di Magelang, sebagian uang hasil penjualannya disisihkan, dibelikan meja makan baru untuk rumah di Yogya.
"Biar ibumu senang, dan kita punya tempat baru berbagi cerita. Nanti meja makan yang lama kita taruh di teras belakang," ujar ayah ketika itu.
Sayangnya setelah berkeluarga, saya menempati perumahan type tiga puluh enam dengan ruangan terbatas, sehingga tidak dapat menempatkan meja makan secara leluasa.
Sekarang, saya baru menyadari bahwa "tradisi" (tepatnya pelarangan-pelarangan) saat menikmati makan di meja makan, berkaitan dengan cara orang tua mendidik kami agar menghormati  makanan, menghayati cara makan yang baik, menghargai makanan yang diberikan oleh Tuhan, dan merekatkan hubungan dengan anggota keluarga serta orang tua.
Kalau sekarang mengedepan istilah Mindful Eating, dimaknai sebagai keterlibatan kesadaran penuh saat makan (Kompasiana.com) atau menghindari makan sembari melakukan hal lain, maka hal itu sesungguhnya sudah kami lakukan puluhan tahun lalu.Â
Efeknya, kami selalu menikmati makanan dengan seksama, tidak menyia-nyiakan setiap suapan, dan bisa merasakan rasa masakan. Hal lainnya, kami tumbuh hingga menua dengan badan  sehat (tidak pernah sakit keras/serius), tinggi dan berat badan seimbang, body tidak melebar.
Tradisi yang mendarah daging itu menyebabkan saya tidak tergoda membalas WhatsApp atau menganggat telepon saat tengah makan, apalagi bermain game atau berselancar di berbagai kanal media online.Â
Hal itu berbeda dengan generasi Z yang tak bisa lepas dari gawai, termasuk ketika tengah makan. Dari suapan pertama hingga terakhir ada saja yang dilakukan dengan gawai mereka: membalas chatt, menerima telepon, main game, menikmati tik-tok, video call, berselancar di YouTube, bahkan sambil membuat konten.Â
Saat  ditanya bagaimana rasa masakannya, sebagian dari mereka menjawab: biasa aja! Ini terjadi karena  sesungguhnya mereka tidak menghayati dan merasakan  setiap suap makanan yang masuk ke mulut!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H