Tentu saja Pak Mardjoko tak pernah membayangkan bagaimana hidup di kota karena begitu cintanya terhadap desa sebagai wilayah sangkan paran dumadi.Â
Suatu malam, ia sempat heran saat listrik mati, kok ada lampu yang tetap menyala di perumahan, tepat  di seberang rumahnya. Lelaki berusia lebih dari  lima puluh tahun yang warna rambutnya mulai memutih itu, tidak paham jika ada lampu emergency yang secara otomatis menyala saat aliran listrik tiba-tiba padam.
"Lha kok lampu mergi riki wonten sing mboten pejah-kok ada lampu penerangan jalan perumahan tetap menyala, Mas?" tanya Pak Mardjoko heran dan lugu. Ia sengaja mendatangi saya saat malam gerimis, sekadar untuk memupus rasa penasarannya.
sapi, ayam, kambing, dan bebek. Dengan ilmu titen -membaca tanda-tanda alam - ia berhasil menyiasati keperluan hidup sehari-hari.Â
Sejak muda ia  tinggal di pinggiran desa Pundong, Sleman, Yogyakarta, akrab dengan bau sawah,Jika musim hujan tiba, Pak Mardjoko memelihara bebek, menanam padi. Sebaliknya di musim kemarau,  semua bebek dijual, beralih memelihara ayam dan menanam palawija.
"Sakmenika mboten kados riyin. Titi mangsa mboten saged dietang. Lha garengpung mungal, e, tetep jawah-sekarang susah meramal cuaca. garengpung (tangir)Â berbunyi, tanda masuk musim kemarau, tetap saja ada hujan," ujar lelaki berkulit legam itu.
Ia bercerita kalau sepuluh tahun lalu petani masih bisa  niteni pranatamangsa dengan cara mengamati bintang-bintang di langit. Ada pranatamangsa waluku, gubuk penceng, banyak angkrem, wulajarngirim, dan bimasakti. Butuh keahlian dan kesabaran untuk bisa membaca pranatamangsa dengan baik, terlebih perhitungannya bersifat lokalitas dan temporal.Â
Musim tandur biasanya akan dimulai saat waluku terlihat di ufuk timur sebelum terbitnya matahari. Susunan bintang waluku akan menyerupai bajak yang siap digunakan. Â
Beberapa bulan kemudian bintang waluku terbit di ufuk timur sesaat setelah matahari terbenam. Inilah saatnya para petani membajak, menanam padi, dan merawatnya.Â
Setelah bintang/rasi waluku bergerak kian tinggi di langit pada malam hari dan mencapai titik puncaknya setelah matahari terbenam, maka posisinya semakin merendah di ufuk barat dengan isyarat gambar posisi bajak terbalik, itu merupakan pertanda bahwa  musim panen telah tiba.
Ketika musim tandur tiba, sebagai orang yang sudah puluhan tahun menggeluti tanah sawah, Pak Mardjoko tidak akan menggunakan traktor guna membajak sawahnya, meskipun beberapa tetangganya menggunakan jasa penyewaan/pengerjaan bajak sawah memakai traktor.Â
Lelaki yang selalu salat Jumat di masjid perumahan itu menganggap traktor bisa menyebabkan tanah menjadi kurang subur karena tumpahan solar atau bensin, polusi asap, dan suara. Ketiga hal itu dinilainya mengganggu kelestarian alam.Â
Lagi pula penggunaan traktor menyebabkan anak-anak di desa lambat laun tidak akrab lagi dengan kata luku, singkal, dan kajen yang berhubungan dengan membajak sawah.Â
Luku mengacu pada alat membajak, singkal merupakan bagian yang dipergunakan untuk membalik tanah, sedangkan kajen merupakan mata singkal, terbuat dari plat besi/baja.
Jiwa petaninya begitu mendarah daging, beberapa petak sawah dan beberapa ekor sapi, merupakan bukti kecintaannya dalam menghayati pekerjaan sebagai petani sekaligus peternak.Â
Di samping itu Pak Mardjoko memiliki gerobak sapi, dimanfaatkan  mengangkut kacang atau padi saat panen tiba. Sesekali gerobak sapinya digunakan Omah Kecebong untuk mengantarkan wisatawan keliling desa seputar Cebongan, Sleman, dengan menikmati sensasi naik gerobak sapi.Â
Gerobak sapi diberi bangku kayu panjang, Â dapat memuat enam sampai sepuluh orang berkeliling desa seputar cebongan. Dari sini ia mendapatkan uang tambahan.
Ada tujuh sampai sepuluh ekor sapi di kandang belakang rumah Pak Mardjoko. Sapi-sapi itu menjadi urusan Mas Bibit: dari memberi makan, memandikan, sampai memberi jamu. Dua hari sekali sapi dimandikan di parit kecil di samping perumahan.Â
Sapi diberi jamu sehari sebelum diajak perjalanan jauh atau mengangkat hasil panen yang cukup banyak. Jamu yang diberikan Mas Bibit berupa dua butir telur bebek mentah dicampur madu, dimasukan kedalam potongan bambu (bumbung) dan digelontorkan ke mulut sapi.
"Kajengipun sapi kiyat lan sehat Mas. Mboten menggeh-menggeh menawi diajak dumugi Prambanan-Diberi jamu agar sapi kuat dan sehat. Tidak terseok-seok saat diajak sampai Prambanan," jelas Mas Bibit.
Pada musim penghujan, Pak Mardjoko berternak bebek. Tidak tanggung-tanggung, ia memelihara tiga puluh sampai lima puluh ekor bebek yang di-angon mencari makan  ke sawah setiap pagi dan sore, melahap siput, keong, dan sejenisnya.Â
Kegiatan ini dilakukan secara bergantian dengan istri, Â anak dan menantunya, Mas Bibit serta Mbak Wanti. Jika Pak Mardjoko tandur, maka Mas Bibit beserta istrinya ngurusi ternak. Mbak Wanti menggiring bebek ke sawah. Sementara Mas Bibit mengurusi sapi.Â
Beberapa keluarga di perumahan membeli telur bebek angon Pak Mardjoko karena rasanya lebih gurih, gempi, dan warna kuning telornya tidak pucat. Maklum bebek angonan mengkonsumsi makanan alam, bukan konsentrat prabrikasi.
Begitulah mereka saling bahu-membahu menggeluti dunia tanen (bertani) yang semakin tidak diminati generasi muda di desa.
Sekarang di desa, semakin sulit mencari tenaga yang bersedia menggarap sawah. Â Generasi muda lebih memilih bekerja ke kota sebagai buruh pabrik. Pekerjaan tanen dianggap kalah gengsi dibandingkan pekerjaan di kota. Mereka lebih bangga memberi jawaban sebagai pekerja pabrik dibandingkan sebagai petani yang identik dengan sawah.
Setidaknya situasi tersebut membuktikan  apa yang diperbincangkan para winasis benar-benar terjadi, bahwa dalam perubahan dari masyarakrat agraris (pedesaan) ke modernisasi (kota), norma-norma sosial akan kehilangan keseragaman.Â
Hadirnya perumahan (dihuni orang-orang pekotaan), supermarket, loundry, sambungan internet di  wilayah pedesaan, mau tidak mau, menggeser  budaya dan simbol-simbol, serta cara berbahasa masyarakat pedesaan.  Hal tersebut juga dapat dilihat  dari ditinggalkannya pekerjaan tradisional (tandur, tanen) ke pekerjaan lain yang bergantung pada pasaran kerja.
Menurut Kuntowidjoyo-dalam "Perubahan Sosial-Kultural Desa dan Pertumbuhan Demokrasi"-masuknya budaya kota ke pedesaan menyebabkan cara berpakaian, sopan-santun-terutama generasi muda-tidak banyak berbeda dengan masyarakat kota; simbol-simbol budaya lokal tergeser oleh budaya kota. Â
Di sisi lain, Kuntowidjoyo menggariskan terjadinya mobilitas masyarakat pedesaan; tenaga kerja pedesaan mengalir ke kota, baik nglajo, musiman, atau menetap.
Ketika rumah Pak Mardjoko tergusur karena proyek strategis nasional Pembangunan Jalan Tol Yogya-Bawen, ia tidak berkeinginan pindah ke kota. Ia membangun rumah di sisi selatan, berjarak tidak lebih dari lima ratus meter dari rumah lamanya.
"Menawi dateng kuta, kula mboten saged tandur, ngingu wedus, sapi, bebek. Kula nut laku minangka tiyang ndesa. Pejah gesang, wonten mriki mawon-kalau pindah ke kota, pasti saya tidak bisa bercocok tanam, memelihara kambing, sapi, bebek. Saya mengikuti garis hidup di desa. Hidup mati lebih nyaman di desa," jelas Pak Mardjoko mantap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H