Nama indigo diambil dari nama tumbuhan genus Indigofera (Indigofera Tinctoria), penghasil zat warna ini. Di bidang tekstil, pewarna alami indigo diterapkan pada teknik pewarnaan Shibori menggunakan kain berserat alam.
Mengutip dari BahanKain.com, dijelaskan bahwa indigo merupakan pewarna kuno, diperoleh dari Woad (Isatis Tinctoria)Â atau Indigofera (Indigofera Tinctoria). Keduanya merupakan tanaman penghasil warna kebiruan sekaligus obat tradisional.Â
Warna indigo atau nila pertama kali dibuat di India. Ditemukan di Peradaban Lembah Indus, diperkirakan berasal dari Zaman Perunggu (3300-1300 SM).Â
Pigmen unik yang dinamai nila ini diperoleh melalui proses ekstraksi daun tanaman indigofera. Daun diolah menjadi bubuk lalu direbus sampai membentuk cairan kental. Selanjutnya, larutan difermentasi hingga menghasilkan warna biru keunguan yang khas.
Indigo dengan gula aren, warna birunya menjadi lebih segar (biru cerah); sedangkan indigo memakai tetes tebu akan menghasilkan warna biru kehijauan.
Dalam proses pewarnaan alam, indigo memerlukan glukosa (gula), bisa menggunakan gula jawa, gula aren, maupun tetes tebu, juga kapur.Pigmen indigo bisa dicampur dengan pigmen dari tanaman lain dan akan menghasilkan berbagai warna baru.
Jika indigo dipadukan dengan pigmen jolawe cenderung menghasilkan warna biru-abu-abu; indigo plus pohon nangka menghadirkan warna biru agak gelap, sedangkan indigo dipadukan dengan tegeran menghasilkan warna biru kehijauan.
Begitupun setiap pigmen tanaman jika diberi unsur logam (misalnya tunjung, tawas) bisa menghasilkan tone warna berbeda-tidak berlaku untuk indigo.
Dalam pewarnaan alam dikenal istilah penguncian warna (fiksasi) untuk memperkuat warna pada kain dan menentukan tone warna sesuai jenis logam yang mengikat pigmen, yaitu tawas, kapur, dan tunjung.
Fiksasi merupakan hal menarik karena belum banyak dieksplorasi, terutama terhadap efek samping limbah yang dihasilkan. Dalam proses pewarnaan, pigmen masuk ke serat. Ketika tidak ada bahan tambahan (unsur logam), kemungkinan pigmen bisa bertahan kuat di serat, atau sebaliknya.Â
Ini kembali ke karakter masing-masing pigmen. Secang, misalnya, relatif mudah luruh karena mengandung enzim. Juga kunyit, daya ikatnya relatif rendah.
Fiksasi dikenal juga dengan istilah mordan yang memiliki arti menggigit: pigmen menggigit medianya, yaitu proses pengikatan pigmen ke serat kain. Fiksasi merupakan proses pencelupan pigmen ke larutan logam, sedangkan mordan adalah larutan logam yang dicelupkan ke pigmen.
Untuk melekatkan pigmen ke serat kain, digunakan unsur logam berupa aluminium, kalsium, tawas, belerang, dan sebagainya. Nah dalam proses akhirnya perlu dipikirkan bagaimana pengelolaan limbah fiksasi agar tidak menimbulkan dampak negatif.