Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Retno, Perjumpaan dengan Puisi

15 Januari 2024   06:55 Diperbarui: 15 Januari 2024   16:48 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Retno Darsi Iswandari/Foto: Hermard

Pertemuan dengan sastra merupakan salah satu bagian perjalanan hidup yang pantas disyukuri oleh siapa pun. Pertemuan dengannya bisa dianggap sebagai keberuntungan besar, seperti pertemuan dengan sahabat baik yang membantu membaca dan memaknai sejarah kehidupan manusia (Retno Darsi Iswandari -- dalam buku Ngelmu iku Kelakone Kanthi Laku)

Tak dinyana, Retno Darsi Iswandari, salah seorang anggota Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta (SSIY) yang menetap di Australia, tengah liburan di Yogyakarta, tiba-tiba  mengajak pertemuan dengan beberapa teman yang dulu tergabung dalam SSIY, sanggar yang digagas Tirto Suwondo dan Herry Mardianto untuk meningkatkan apresiasi sastra di kalangan pelajar SLTA.

"Pertemuannya hari Minggu di Omah Ampiran. Saya bawa bakwan dan Omah Ampiran menyiapkan kopi plus teh," guyonan Retno lewat pesan WhatsApp.

Begitulah, Minggu (14/1/2024), Omah Ampiran kedatangan tamu-tamu istimewa: Latief Noor Rochmans (jurnalis, penulis), Retno Darsi Iswandari (penyair), Nora Septi Arini (penyair), Nabilla  Vardhani (dosen, pembaca puisi), dan Mutia Sukma (penyair), menikmati  seduhan kopi Ibu Negara Omah Ampiran sambil ngobrol kangen-kangenan.

Sejak masih duduk di bangku SMA Negeri 1 Yogyakarta, puisi-puisi Retno sudah menghiasi koran lokal Yogyakarta. Menurut Latief, puisi-puisi perempuan pengagum Umar Kayam dan Pramoedya Ananta Toer itu sungguh dahsyat, mampu bersaing dengan penyair-penyair ternama Yogyakarta. Simak saja salah satu puisinya berikut ini.

Kepada Kata-Kata

kata-kata yang keluar dari mulutku
ke mana saja pada udara
ingin kubuat rumah dan memanggil kalian
seperti memulangkan hembusan napas
yang lama mengembara
saat aku berputar, menari,
dan berhenti pada hasrat malam yang megah

engkau yang bersayap
ulurkan tanganmu ke wajahku
tiup nyala mataku,
tiup nyala mataku ke angkasa
dan bentangkan lenganmu di lenganku
dekap gigilku
larikan ke bukit-bukit

kata-kata, seberangkan aku dengan sayapmu
naikkan pada tinggi mabuk firdaus
lalu terjunkan menyentuh neraka
sebab kau kendaraan setia ke mana pun
sekaligus semesta yang membingkaiku

Puisi tersebut berhasil menggambarkan kekuatan kata-kata dan keinginan  memberi makna interaksi manusia dengan alam semesta. 

Melalui imaji sayap, tangan, dan mata, penyair ingin kata-katanya merentangkan ruang yang luas, dari keindahan hingga kegelapan. Ada keinginan  merangkul kehidupan sekaligus menyadari bahwa kata-kata  dapat membawa seseorang ke tempat yang tak terduga dan mendalam (hening).

Penyair yang sejak tahun 2017 tinggal di Adelaide, Australia Selatan, mengaku bahwa proses kreatifnya menulis tidak dapat dilepaskan dari proses membaca. 

Saat menulis puisi "Api Drupadi", misalnya, perempuan kelahiran 5 Juni 1988 ini tak bisa lepas dari membaca kisah Drupadi dalam karya epik Mahabharata. 

Kekagumannya terhadap sosok perempuan  kuat dan penuh pengorbanan,  lahir dari api suci (bukan dari rahim), menggugah Retno menciptakan puisi tentang Drupadi.  Pada tahun 2014 puisi ini dicalonkan menerima Penghargaan Seni dan Sastra Universitas Gadjah Mada.

Puisi-puisi karya Retno begitu kuat, baik dari segi diksi (pemilihan kata) maupun teknik pengangkapan serta pemilihan temanya. 

Tidak mengherankan jika namanya tercantum dalam buku antologi puisi bersama penyair lainnya, di antaranya Atjeh Sebuah Kesaksian Penyair (2005), Negeri Terluka (2005), Herbarium: Antologi Puisi Penyair Empat Kota (2007), Ibumi: Kisah-kisah dari Tanah di Bawah Pelangi (2008), Satu Kata Istimewa (2012),  Di Pangkuan Yogya (2013), dan Yogya Halaman Indonesia (2016).

Retno Darsi Iswandari/Foto: Hermard
Retno Darsi Iswandari/Foto: Hermard
Selain menulis, ibu dari Hugo Evans ini juga mampu membaca puisi. Tampil membaca puisi di acara Penghargaan Bahasa dan Sastra, Anugerah Seni dan Sastra FIB-UGM, Momentum for a Night with Malaysian Poet in Yogya, dan dalam peristiwa sastra lainnya.

Baginya, dunia menulis puisi dan dunia pembacaan atau pemanggungan puisi bagaimanapun adalah dua hal yang sangat berbeda. Penulisan merupakan dunia yang begitu sunyi, mesti mengambil jarak dari keramaian untuk mengerahkan seluruh perasaan dan pikiran dalam melakukan kerja penulisan. Sementara itu, dalam dunia pemanggungan, ia mendatangi dan menyambut keramaian dengan puisi-puisi. 

"Aktivitas memasuki dan keluar dari keramaian itu memberikan keseimbangan batin bagi saya," jelas Retno.

Saat ditanya mengenai penerbitan buku puisi tunggalnya, ia hanya tersipu.

"Beri saya waktu agak panjang. Semoga di tahun 2026, buku puisi saya terbit. Saya memang sudah ditagih salah satu penerbit di Yogya," tutup Retno sambil tertawa lepas.

Pertemuan di Omah Ampiran dengan suguhan cakwe, apem, kripik, manggis, nglelantur dari persoalan anak, pengaturan keuangan, tempat kuliner yang enak, sampai bagaimana menyiasati hidup yang tak sekadar nrima ing pandum...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun