Tak pernah terbayangkan  di benak Savitri bahwa pernikahannya mampu memporakporandakan pikirannya sendiri.
Semasa sekolah dan kuliah di Yogya, tak terhitung lelaki yang jatuh hati kepadanya. Tapi dengan berbagai cara, perempuan berwajah tirus, rambut sebahu, alis tebal, mata lebar, hidung mancung, sekilas  mirip Najwa Shihab, selalu menolak kalau ada lelaki yang menyatakan cintanya.
Begitu juga saat teman kerjanya di Jakarta ingin mendekatinya, Savitri buru-buru menghindar. Bukannya ia sombong atau tak ingin dicintai, tetapi ia selalu memikirkan keberlanjutan kehidupan keluarganya.Â
Siapa nanti yang akan merawat ayah ibu yang sudah membesarkannya bersama  kakak dan adiknya? Jika ayah ibu sudah menua, dan adik kakaknya menikah, keluar dari rumah,  apakah kedua orang tuanya  tidak kerepotan mengurus rumah yang begitu besar.Â
Lantas kalau mereka sakit, Â siapa yang akan merawat? Dan lagi, bukankah pernikahan itu hanya kenikmatan sesaat dengan penderitaan berlarut-larut?
**
Benar saja, lima tahun kemudian, saat ayahnya sakit, adik dan kakaknya sudah menikah dan tinggal di luar kota, Malang dan Surabaya, tak ada yang bisa pulang ke Yogya dengan  alasan pekerjaan mereka tidak bisa ditinggalkan, sibuk mengurusi keluarga. Entah itu alasan sesungguhnya atau hanya dibuat-buat.
Savitri terpaksa keluar dari pekerjaannya sebagai sekretaris di sebuah perusahaan swasta demi merawat ayahnya. Â Ia meninggalkan ibu kota, pulang ke Yogyakarta. Berulang kali mengantarkan Pak Wiratmo ke rumah sakit karena serangan stroke. Ini sudah serangan kedua dan berat.Â
Savitri tak mungkin tega membiarkan ibunya yang  sudah menua, usianya delapan puluh tahun, tiga tahun lebih muda dibandingkan ayahnya; mengurusi ketidakberdayaan mantan pegawai instansi pemerintahan  cukup bergengsi itu.Â
Setiap pagi Savitri menyibin tubuh ayahnya, mengganti baju, menyuapi sarapan, menaikan ke kursi roda,  mendorongnya keliling  jalan kampung menghirup udara segar bermandikan sinar matahari pagi. Dengan cara ini setidaknya Savitri merasa lega, dapat membalas kebaikan orang tua yang telah membesarkannya.
Tapi kebersamaan itu tak bertahan lama. Saat stroke menyerang untuk ketiga kalinya, Pak Wiratmo berpulang ke rumah Illahi. Setahun kemudian Bu Wiratmo menyusul karena penyakit gula.Â
Tinggalah Savitri seorang diri di rumah tabon. Di bagian depan ia membuka warung kelontong, dan beberapa kamar kosong disewakan sebagai tempat kos mahasiswi. Â
**