Lan den nedya prawira ing batin
Nanging aja katon
Sasabana yen durung mangsane
Kekendelan aja wani mingkis
Wiwika ing batin
Den samar den semu
"Tenangkan hatimu, Ndhuk. Suaramu terdengar agak gemetar. Tadi Rama Handono sekilas terlihat menggelengkan kepalanya. Pasti ada yang kurang sreg."
Kustiyah meremas tangannya sendiri. Mengusir kegelisahannya. Ia berupaya  agar tidak  gagal di tembang berikutnya.Â
Matanya mengitari sekeliling.  Tanpa sengaja tatapannya beradu dengan tatapan Rama Handono yang  memandanginya  sambil tersenyum.Â
Perempuan itu seketika  merasa menemukan lagi jatidirinya yang mempunyai jiwa. Ia bukan sekadar sinden, tetapi pepasren yang harus mampu memukau penonton sekaligus menakhlukan priyayi ageng yang menelanjanginya lewat sorotan mata di Sidoasih.
**
Seminggu setelah pertunjukan di joglo Sidoasih, Rama Handono mendatangi kediaman Tarman di desa Jimbar. Priyayi itu hanya bertamu sebentar dan segera meninggalkan halaman rumah Tarman mengendarai mobil sedan mulus berwarna hitam. Entah apa merk-nya.
"Rupanya Rama Handono kepranan dengan penampilanmu di Sidoasih, Ndhuk."
"Terus?"
"Dia akan memboyongmu ke Ndalem Ageng. Dan bapak tidak bisa menolak keinginannya."
Betapa bahagianya Kustiyah. Hatinya bergetar. Ia akan menjadi penghuni Ndalem Ageng. Sebuah tempat yang diimpikan para sinden dari segala penjuru.
"Adakah nasib yang lebih baik dari pada itu?" tanyanya dalam hati.
Ternyata Kustiyah tidak hanya menjadi sinden Ndalem Ageng. Tiga tahun kemudian,  ia  dijadikan garwa ampeyan yang harus selalu sendika dhawuh terhadap Rama Handono.Â
Hidup di  Ndalem Ageng ternyata membahagiakan. Terlebih Kustiyah juga dipercaya sebagai penari andalan. Ia tampil setiap ada tamu penting Ndalem Ageng. Waktu sepuluh tahun terasa berjalan begitu cepat, sampai ketika Rama Handono pulang menghadap Tuhan.Â