Namaku Salindri, anak semata wayang dari perkawinan  ibuku, Kustiyah, dengan Rama Handono. Pertemuan mereka terjadi saat ibu tampil nyinden di joglo Kecamatan Sidoasih.Â
Yah, ibu saat itu baru berusia tujuh belas tahun, tapi suara dan tariannya  dipuja-puja lelaki  di desa  Jimbar, tempat  ibuku lahir dan dibesarkan. Darah seni ibu mengalir dari kakekku, Tarman, yang tak bisa dilepaskan dari nama grup kethoprak tobong Arumsari yang berhasil mementaskan lakon-lakon yang melekat di hati masyarakat sekitar Wonogiri.Â
Begitu ada berita pentas kethoprak tobong keliling dan ada nama Tarman di dalamnya, pasti pertunjukkan akan dipadati penonton. Entah dia sebagai sutradara atau salah seorang pemain.
Â
**
"Ndhuk, dijaga suaramu. Malam ini joglo Sidoasih kedatangan Rama Handono, priyayi agung dari Ndalem Ageng. Kae sing lenggah jejer Pak Camat," bisik Tarman kepada Kustiyah.
Tarman memegang rebab, mengambil tempat di dekat Kustiyah. Bersama kelompok pengrawit, mereka sudah duduk di panggung menghadap penonton.
Pandangan mata Kustiyah segera menangkap sosok lelaki gagah duduk berwibawa  persis di samping Pak Camat.  Ia mengenakan batik kawung berwarna merah bata.Â
Kini hati Kustiyah yang tidak jenjem. Baru kali ini ia pentas di depan priyayi dari Ndalem Ageng, Rama Handono.
"Sudah saatnya kamu pentas disaksikan pengageng Rama Handono. Kuatkan hatimu," ujar Tarman seakan tahu kegelisahan anaknya.
"Entahlah Pak. Nyatanya aku merasa tidak tenang, kemrungsung."
Sebagai seorang ayah, Tarman merasakan kegelisahan Kustiyah. Terlebih saat Kustiyah akan memulai nembang. Tarman dalam hati berulang kali berdoa agar Kustiyah diberi kekuatan.
Saat gendhing tembang Mijil ditabuh, secara bersamaan terdengar suara Kustiyah mengalun lembut.