Berangkat dari keyakinan bahwa puisi merupakan anak ruh penyair dan   bahasa peradaban, Sutirman Eka Ardhana menilai puisi-puisi Mustofa W. Hasyim sebagai puisi yang syarat dengan kultur Jawa. Hal ini dengan mengingat latar belakang penyair yang lahir di Kotagede sebagai tempat lahirnya peradaban Mataram Islam.
Kuatnya nilai-nilai kejawaan itu terasa juga dalam cara berkomunikasi Mustofa lewat puisi, ia mampu menyembunyikan segala emosi, tidak berniat menyinggung orang lain, bahkan terkadang puisinya terasa semu.
"Kalau obrolan kali ini tentang puisi dan perang yang damai, saya memahami bahwa dalam konteks puisi-puisi Mustofa, maka dapat dimaknai dalam konsep pandangan hidup masyarakat Jawa, yaitu menang tanpa ngasorake-menang tanpa merendahkan, ngluruk tanpa bala-meyerbu tanpa pasukan, dan sugih tanpa banda- kaya tanpa bergantung pada harta," jelas Eka.
Spirit kejawaan dan kecintaan terhadap puisi, dapat dicermati dari masa kecil Mustofa. Ia belajar di Sekolah Dasar Muhammadiyah Bodon, Kotagede, sebuah sekolah tua didirikan pada bulan Mei tahun 1924.
Kemudian, di kelas VI, Mustofa berjalan-jalan ke Kota Yogyakarta sampai pasar Beringharjo. Pulangnya mampir ke Museum Perjuangan, Brontokusuman. Di belakangnya ada Museum Angkatan Darat. Di sebuah papan yang bagus tertulis puisi Chairil Anwar  "Kerawang Bekasi". Ia terpesona dengan puisi itu.
"Wah, asyik juga jadi penyair, karyanya bisa dipasang di museum. Kalau begitu saya ingin jadi penyair," tulis Mustofa dalam buku Ngelmu iku Kelakone kanthi Laku, Proses Kreatif Sastrawan Yogyakarta.
Saat  di sekolah menengah di Pendidikan Guru Agama Ma'had Islami Kotagede, ada guru cantik bernama Bu Sutiyah, suka mengajarkan sastra dengan cara menarik. Ia masih ingat betul, waktu itu pelajaran sastra sampai pada pelajaran puisi lama. Dimulai dari pantun, kemudian syair, gurindam, dan sebagainya.Â
Waktu pelajaran pantun, Bu Sutiyah memerintahkan murid-murid membuat pantun sebagai pekerjaan rumah (PR). Tidak ada murid yang berani membantah, sebab cukup dengan sebuah senyuman amat manis, semua murid laki- laki di kelas langsung tertunduk.Â
Begitulah, Mustofa dan teman-teman belajar menulis puisi mulai dari pantun. Kekaguman kepada Chairil Anwar dan Taufiq Ismail di waktu sekolah dasar tenggelam karena Bu Sutiyah.
Sementara Indro Suprobo menilai bahwa kejawaan dan keislaman menjadi ekosistem karya-karya Mustofa.
"Ia mampu merekonstruksi wacana, konteks yang ada dalam pemikiran dan konteks peradaban."