Entah sudah kali ke berapa aku membuka buku unik yang diterbitkan beberapa tahun lalu: Hanya Untukmu (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2017). Ada kegelisahan tak menentu saat membolak-balik buku itu, meski tanpa alasan jelas.
Terbayang andaikan buku tersebut tersegel bungkus plastik dan dipajang di rak toko buku, tentu calon pembeli hanya bisa mencermati sampul depan dan sampul belakangnya. Apakah ia akan mengira bahwa buku di genggaman tangannya adalah buku antologi puisi (ini dengan mengandaikan orang tersebut tidak mengenali nama Sulis Bambang)?Â
Di sampul depan hanya terdapat judul buku, nama penulis, dan foto ilustrasi, tanpa ada keterangan apakah buku tersebut merupakan sebuah novel, kumpulan cerita pendek, kumpulan puisi, atau novelet.Â
Di sampul belakang terdapat tulisan pendek berjudul "Aku Memilih Percaya" dilengkapi sebuah foto, bercerita mengenai sosok Reza. Apakah dengan demikian, buku Hanya Untukmu berukuran "tak biasa" ini merupakan buku biografi Reza? Artinya Sulis Bambang menulis buku biografi Reza?
Bagi mereka yang sudah mengenal dengan baik sosok Sulis Bambang, rasa penasaran seperti itu tentu tidak mereka alami. Mereka paham betul bahwa buku Hanya Untukmu pasti terkait erat dengan karya sastra (puisi).Â
Penulisnya merupakan pengelola Bengkel Sastra Taman Maluku yang prioritas kegiatannya adalah "Sedekah Budaya" dengan konsep sinau bareng (belajar bersama) menggarap musikalisasi sastra dan novel. Buku Melati Senja, Perempuan Langit 2, Perempuan-Perempuan, merupakan sebagian dari antologi puisi Sulis Bambang bersama penyair lain. Sementara dua antologi puisi tunggalnya adalah Semarang Kota Tercinta dan Orkestra Sunyi. Bersama Sri Kartini, ia menulis Dongeng untuk Nauli dan Dongeng untuk Reza.Â
Selain menulis, nenek dengan beberapa orang cucu ini menekuni fotografi. Nah, buku Hanya Untukmu berisi 100 foto jepretannya yang coba "dikawinkan" dengan 100 puisi karyanya sendiri.Â
Apa pun alasannya, kehadiran buku ini menggambarkan kegigihan seorang "nenek" yang terus berkarya dengan mengabaikan soal usia. Ini adalah semangat yang sebaiknya menginspirasi insan-insan sastra dan sudah selayaknya diapresiasi oleh generasi muda dalam rangka mengasah kreativitas.
Sebagian orang menyadari bahwa ada banyak hal yang dipertaruhkan ketika menyandingkan (terlebih "mengawinkan") puisi dengan karya seni lainnya karena bisa saja salah satu dapat memosisikan lainnya ke dalam ruang "gelap".Â
Sebagai contoh kasus saat puisi disandingkan dengan musik (puisi dijadikan lagu). Kita akrab dengan lagu "Tuhan" yang dipopulerkan kelompok musik Bimbo pada tahun 1970-an dan selalu diperdengarkan saat bulan Ramadan.Â
Iwan Fals, penyanyi yang kerap melontarkan kritik sosial, sempat menyanyikan lagu "Aku Menyayangimu" saat konser di Pantai Bende Ancol (tahun 2003). Lagu itu kemudian akrab di telinga penggemarnya hingga sekarang.Â
Di sisi lain, grup band Banda Neira membawakan lagu "Dera-derai Cemara" lewat vokalis Rara dan Badhu, di samping membawakan lagu "Rindu" yang digandrungi kawula muda.
Masyarakat luas tidak menyadari bahwa lagu "Tuhan" bukanlah lirik ciptaan Bimbo, melainkan puisi karya Taufik Ismail, salah seorang penyair ternama Indonesia. Begitu juga lagu "Aku Menyayangimu" identik dengan sosok Iwan Fals, meskipun lirik lagu itu sesungguhnya adalah teks puisi karya Gus Mus (Mustofa Bisri). Hal serupa dialami lagu "Derai-derai Cemara" dan "Rindu" yang sesungguhnya adalah puisi karya Chairil Anwar serta Soebagio Sastrowardoyo.
Dari kasus ini disadari bahwa menyandingkan (mengawinkan) puisi dengan seni musik pada akhirnya mampu menenggelamkan karya sastra; puisi-puisi berada di ruang "gelap"-karena dalam perkembangannya, masyarakat lebih mengenal "Tuhan", "Aku Menyayangimu", "Derai derai Cemara" dan "Rindu" sebagai lagu, bukan sebagai teks puisi.Â
Bersamaan dengan itu bayangan sosok Kirdjomulyo, seniman Yogyakarta yang menyertakan puisi dalam beberapa lukisannya, melintas-lintas di kepala, pertanyaan berkelebat: apakah orang lebih memberi apresiasi terhadap lukisan atau puisi Kirdjomulyo yang ditorehkan dalam lukisannya?
Apa yang dihadirkan Sulis Bambang serta Kirdjomulyo tak jauh berbeda- keduanya menampilkan puisi disandingkan dengan bentuk visual berupa foto dan lukisan.Â
Tentu saja ini bukanlah pekerjaan mudah karena mereka harus mempunyai strategi agar penikmat (pembaca, penggemar lukisan, pecinta foto) tidak terbagi perhatiannya ke salah satu objek yang ditampilkan pada waktu berbarengan di tempat yang sama. Artinya, perlu siasat agar puisi dan foto/lukisan sama-sama "seharga" di mata pembaca, mendapat perhatian secara serentak.
Menelusuri buku Hanya Untukmu yang diterbitkan secara eksklusif dengan sampul tebal dan penuh warna, sudah pasti buku ini dirancang melalui tahapan panjang agak berliku, setidaknya melewati proses perenungan, penulisan, dan seleksi foto.Â
Tahapan penciptaan puisi dan pemotretan memiliki kesamaan, keduanya harus melewati kesediaan diri untuk melakukan konsentrasi dan intensifikasi. Hal yang membedakan hanya pada sarana penghadirannya; puisi tergantung pada pilihan kata (diksi), sedangkan sebuah foto terkait erat dengan objek (moment), sudut pandang (angle), dan pencahayaan (lighting).Â
Kualitas puisi dalam antologi Hanya Untukmu tidak perlu diragukan lagi karena pemilihan kata, subject matter, penyusunan larik, sudah diperhitungkan secara matang oleh penulisnya: meskipun ada beberapa puisi yang terasa lebih mengedepankan rima dan persajakan sehingga unsur musikalitasnya menjadi dominan dan totalitas penyampaian makna puisi menjadi kurang maksimal.
Apakah asumsi ini lantas mengurangi nilai kebaikan (kualitas) dari puisi-puisi yang ada dalam antologi Hanya Untukmu? Tentu saja penilaian tersebut tidak berarti apa-apa jika kita berangkat dari pengertian bahwa berpuisi adalah bermain dengan bunyi.
Sejak semula aku membaca isi buku Hanya Untukmu sebagai sebuah puisi panjang berupa narasi puitik (mengenai harapan, pujian, kesangsian, kesunyian, kebahagiaan, kegelisahan, perjuangan) dan setiap penggalan puisi ditandai/ dibatasi oleh sebuah foto.Â
Gagasan ini dikemukakan dengan dua alasan: (1) setiap puisi tidak diberi judul secara eksplisit; dan (2) cerita dalam setiap bagian puisi saling berhubungan erat.Â
Meskipun buku ini diawali dengan foto sosok dan puisi mengenai seorang ibu, tetapi "jejak" semiotik menujukkan bahwa buku Hanya Untukmu lebih dipersembahkan kepada Reza.Â
Penanda "pembenaran" terhadap dugaan ini adalah (1) Reza merupakan sosok "istimewa" sehingga Sulis Bambang sempat membuat buku Dongeng untuk Reza, (2) sampul belakang buku Hanya Untukmu berisi foto dan cerita mengenai Reza-pada umumnya sampul belakang sebuah buku berfungsi menjelaskan isi buku. berisi endorsement sebagai daya pukau dan daya pikat sebuah buku.
Jadi, meskipun buku antologi puisi ini dipersembahkan kepada pembaca (siapa pun), tetapi secara implisit diterbitkan sebagai persembahan untuk Reza disertai pesan mendalam:
Pada tanah yang kita pijak ini, kebaikan sering dipangkas secara paksa oleh kebencian, sering pula tercerabut oleh dengki, dan kerap terbunuh secara diam diam oleh kekerdilan berpikir orang-orang di sekitar kita: kebaikan sudah seperti anak haram kehidupan, dinista oleh fitnah, ditikam oleh pragmatisme. Sendirian, kebaikan itu berjuang nyaris tanpa teman.
Lagi-lagi aku membuka buku Hanya Untukmu, ada perasaan tak menentu saat membolak-balik buku itu, meski tanpa alasan jelas. Ada kegelisahan kalau-kalau pembaca tidak bisa berkonsentrasi dalam membaca puisi panjang karena puisi dan foto seakan berebut ruang dalam setiap lembar halamannya.Â
Perjalanan ulang-alik antara teks puisi dan foto, terkadang (dengan terpaksa) "menjebak" pembaca "mengkhianati" salah satu dari keduanya. Foto objek tertentu dengan komposisi, pencahayaan, warna, dan sudut pengambilan gambar yang unik, tanpa sadar membius pembaca dalam memandangi foto, berlama-lama terpaku dan terpukau sehingga melupakan isi puisi.Â
"Pengkhianatan" terjadi karena buku dicetak full color, sehingga beberapa foto memiliki kesanggupan menarik perhatian pembaca dibandingkan dengan puisi yang mendampinginya.
Setidaknya foto tersebut  hadir sebagai representasi/personifikasi pemotretnya, memiliki konsep estetika, hadir sebagai luapan ekspresi artistik sang fotografer-menjelma sebagai foto seni (fine art), bukan sekadar foto dokumentasi.Â
Estetika foto-foto itu mampu merebut perhatian pembaca sehingga terjadi pengkhianatan terhadap puisi karena pembaca "terbius" dalam keindahan foto yang dihasilkan berdasarkan pengalaman empirik dan teknis pemotretan memadai (memperhatikan komposisi, pencahayaan, dan sudut pengambilan gambar). Foto foto tersebut memiliki daya gugah yang menghanyutkan perhatian pembaca.
Situasinya mungkin akan berbeda jika buku Hanya Untukmu diterbitkan tidak full color, foto yang dihadirkan cukup hitam putih (BW) agar mampu menetralisir perhatian pembaca karena foto dan puisi tidak saling berebut ruang.Â
Kehadiran foto hitam putih tidak akan mengganggu penyampaian informasi (dalam konteks ini teks puisi) karena kekuatan foto tidak terletak pada keindahan warna, melainkan pada kontras pencahayaan dengan mengedepankan detail objek pemotretan.Â
Menurut seorang pengamat fotografi, foto hitam putih merupakan foto polos, memaksa penikmat lebih memperhatikan bentuk dibandingkan warna, ia mampu menyampaikan kesan murni serta emosi yang sangat kuat.Â
Perpaduan antara teks puisi dan rangkaian foto hitam putih yang puitis, niscaya akan melahirkan kepaduan hakiki, kehadiran keduanya saling menguatkan, bukan melemahkan.
Catatan: tulisan ini merupakan salah satu pengantar yang saya tulis untuk buku Hanya Untukmu, dengan beberapa perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H