Perjalanan ke Blora tentu saja tidak hanya "berburu" cerita soal kemonceran Pramoedya Ananta Toer, gurih pedasnya lontong opor Pak Pangat di Ngloram, atau kepedulian Lurah Bangsri terhadap wong cilik, penyandang disabilitas dan ODGJ. Lebih dari itu,  melebar ke mitos  Naya Gimbal, keberadaan orang Samin, atau keunikan kuliner yang tak terduga: bagaimana rujak dikawinkan dengan pecel dalam satu pincuk atau kopi dan santan bersatu di Jepangrejo?
Hari Pertama
Menikmati perjalanan Yogyakarta-Blora (20/11/2023) sejauh lebih dari dua ratus kilometer melewati tol Solo-Surabaya tidak terasa melelahkan. Perjalanan baru  tersendat  selepas Ngawi menuju Blora melewati jalan sempit berkelok, naik turun, melintasi hutan jati wilayah kabupaten Bojonegoro dan kecamatan Cepu.
Jalan kecil dengan marka kuning hampir tak terputus itu menyebabkan kendaraan melambat, terlebih jika di depan ada deretan truk atau kendaraan besar lainnya. Â Mau mendahului, takut terkena jebakan Pak Polisi, e, jebakan batman...
Menjelang satu jam mencapai kota Blora, kami sudah ditunggu Mas Herry  Mursanto dan Mbak Ida di Ngloram untuk beristirahat sambil makan siang di lontong opor Pak Pangat. Inilah kuliner Blora maknyus pertama kali yang kami nikmati. Tanpa basa-basi, kami lahap semua yang terhidang di atas meja sebelum merebahkan badan di hotel Santoso yang berseberangan dengan eks stasiun Blora.
Saat jam makan malam, saya, Mas Landung, dan Mbak Ina, dijemput Mas Noereska, Mas Sani, Mas Herry Mursanto, Mbak Ida, dan Mbak Betty.
"Kali ini kita akan makan malam sesuai request Mbak Ina, mencicipi lontong tahu di Jalan Gunung Sumbing," jelas Mbak Betty.
Meskipun gerimis membasahi kota Blora, ternyata warung tenda lontong tahu  Mbak Tri (35) dipenuhi pelanggan. Kami menunggu beberapa saat untuk mendapatkan tempat duduk yang nyaman. Udara dingin  menyergap, tapi Mbak Tri tetap semangat dan sabar melayani pembeli satu per satu.
"Mas-e pedasnya? Pakai telur? Kacang? Mau kecambah mentah?" deretan pertanyaan itu secara berulang ditanyakan Mbak Tri saat melayani pembeli yang duduk mengelilinginya.
Sejurus kemudian tangan Mbak Tri cekatan mengiris bawang bombai, daun bawang, diaduk dalam wadah berisi telur, ditambahkan garam, selanjutnya diserahkan ke asisten untuk digoreng.Â
Ia melanjutkan mengulek kacang goreng, cabai rawit, kencur,  bawang putih, dan irisan jeruk pecel. Perempuan dengan tahi lalat di dagu ini -sekilas mirip Elvi Sukaesih-kemudian menuangkan  air bumbu plus kecap ke dalam cobek.Â
Irisan lontong, tahu, ditambahi irisan kubis dan kecambah ia tata ke dalam piring yang telah diberi alas daun jati. Setelah itu  disiram dengan bumbu kacang. Atasnya diberi toping kacang  dan telur goreng, ditaburi bawang goreng dan daun seledri.