Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cerita dari Blora: Pak Soes, Soekarno, dan Najwa Shihab

25 November 2023   14:19 Diperbarui: 11 Desember 2023   20:30 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan kali.Lusi/Foto: Hermard

Sejak dua bulan yang lalu Mas Noereska dan teman-teman dari Ruli (Rumah Literasi) Blora, berencana mengajak Mas Landung Simatupang-tokoh teater, aktor- dan beberapa teman ke Blora. Keinginan itu kian menguat setelah kami, termasuk Mas Heri Ruli, menyaksikan Pertunjukan Pembacaan Prosa: Perburuan Pramoedya (16/10/2023) yang disutradarai sekaligus dimainkan oleh Mas Landung didukung aktor hebat Alex Suhendra, Enji Sekar, Putu Alit Panca, dan Rendra Bagus Pamungkas.

Soesilo Toer/Foto: Hermard
Soesilo Toer/Foto: Hermard

Dalam pementasan di IFI-LIP Yogyakarta, ditampilkan latar stasiun kereta api, jembatan kali Lusi, dan sebuah rumah dengan pintu, jendela bertirai kain kelambu, menghadap ke arah stasiun maupun jembatan.

"Wah, seting rumah Perburuan Pramoedya membuat saya langsung teringat rumah mertua di pinggir kali Lusi. Dari rumah itu kita bisa melihat ke arah kali Lusi dan stasiun kereta api Blora. Mas Landung perlu ke sana agar dapat lebih mempertajam imajinasi terhadap latar cerita," ujar Mas Noer seusai menyaksikan Perburuan Pramoedya.

Jembatan kali.Lusi/Foto: Hermard
Jembatan kali.Lusi/Foto: Hermard

Beranda rumah keluarga S.Soebahir di sisi jembatan kali Lusi/Foto: Hermard
Beranda rumah keluarga S.Soebahir di sisi jembatan kali Lusi/Foto: Hermard
Berenam kami akhirnya berangkat ke Blora (20/11/2023), bukan sekadar ingin membuktikan bahwa karya-karya Pramoedya ditulis berdasarkan fakta. Tidak hanya bertandang ke markas Ruli untuk berdikusi mengenai apa yang menjadi cita-cita pendirian rumah literasi Blora, tetapi juga ingin melihat situasi rumah masa kecil Pramoedya Ananta Toer sambil menemui Soesilo Toer (adik Pram), dan menikmati lezatnya kuliner Blora.

Pagi (21/11/2023), selepas sarapan nasi rawon dan asem-asem di Warung Bu Rum, Kamolan, kami bertandang ke Soesilo Toer (Pak Soes) yang mendiami rumah keluarga, sekaligus digunakan sebagai perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (PATABA) di Jalan Pramoedya Ananta Toer (semula bernama Jalan Sumbawa) 40, Jetis, Blora.

Rumah masa kecil Pramoedya Ananta Toer/Foto: Hermard
Rumah masa kecil Pramoedya Ananta Toer/Foto: Hermard
Meskipun menyandang gelar master jebolan University Patrice Lumumba dan doktor bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet - Moskow, Pak Soes (86), anak ketujuh pasangan Mastoer dan Siti Saidah, memilih menjadi pemulung.

"Jangan lihat pekerjaan saya, tapi hasilnya. Pemulung adalah garda depan manusia untuk menyeimbangkan dan menjaga alam," sambut Pak Soes di halaman rumahnya yang setiap sudutnya dipenuhi rongsokan, ada beberapa ekor ayam berkeliaran mencari makan.

Saat kami datang, lelaki kelahiran Blora, 17 Februari 1937, tengah memilah rongsokan, bertelanjang dada, memamerkan kulit tubuhnya yang legam. Tangannya lalu menyambar kaos berwarna biru dari bahunya sambil mempersilakan kami ke ruang tamu yang dipenuhi deretan kursi, rak buku, bingkai foto, dan lukisan. 

Menimba ilmu/Foto: Hermard
Menimba ilmu/Foto: Hermard

Ketika melongok ke dalam dua ruangan (dulunya digunakan sebagai kamar tidur) berukuran tiga kali empat meter, juga dipenuhi buku dan lukisan.

Meskipun rambutnya sudah memutih dan wajahnya berkerut, namun saat berbicara, ia penuh semangat, sorot matanya tajam, dan daya ingatnya masih begitu kuat, baik menyangkut Marxis, Lenin, Friedrich Engels: Eine Unze Praxis ist besser, als eine Tonne Theorie (sedikit praktek lebih baik dari pada banyak teori), sampai mengenang kehidupan masa lalunya.

"Saya dua kali ketemu Presiden Soekarno di Moskow dan Istana Negara. Saat di istana, tiba-tiba saya ingin ke kamar mandi. Di dalam saya bertemu seseorang mengenakan celana pendek dan rambut kepalanya sedikit. Menunjukkan letak kamar mandi. E, ternyata ia orang penting," kenang Pak Soes.

Kemudian, penerima penghargaan Prasidatama (2018) untuk novel Dunia Samin, menceritakan bagaimana pengalaman sekolahnya yang tidak naik kelas saat kelas empat. Waktu ujian SMP juga tidak lulus.

"Lha bagaimana mau lulus, ketika mau ujian saya disuruh mengantar pembantu dari Jakarta pulang ke Cirebon. Saya tak berani membantah perintah. Ini berbeda saat ujian SMA, nilai matematika sepuluh, ekonomi sepuluh, sehingga masuk Universitas Indonesia jurusan Ekonomi tanpa tes."

Kepintaran Pak Soes memang tidak terbantahkan. Buktinya ia mampu mengambil pendidikan tingkat master di University Patrice Lumumba dan meraih gelar doktoral- Doktor Politik-Ekonomi-pada usia tiga puluh lima tahun di Universitas Plekhanov Moskow. 

Ia merupakan satu-satunya dari Indonesia yang lolos seleksi penjaringan beasiswa otoritas Rusia diikuti sekitar sembilan ribu orang pendaftar. Ia salah satu yang diterima dari tiga puluh orang yang dinyatakan lolos seleksi.

"Rahasia pintar itu adalah jatuh cinta dan pacaran. Waktu SMA saya sudah pacaran dan nilai ujian bagus-bagus. Juga saat kuliah, didekati gadis gypsy Polandia berusia tujuh belas tahun. Padahal usia saya kala itu dua puluh tujuh tahun...Hahaha, jadi saya hebat kan?" tanya Pak Soes berkelakar.

Setelah sebelas tahun hidup di Rusia, penulis puluhan buku ini pulang ke Indonesia pada tahun 1973 dan langsung dijebloskan ke penjara karena dianggap punya hubungan dengan Partai Komunis Indonesia. 

Menghuni penjara selama lima tahun lebih. Tanpa pembuktian proses peradilan, ia dibebaskan pada 28 Oktober 1978, tepat lima puluh tahun Sumpah Pemuda.

"Pengalaman hidup saya penuh hinaan. Saya bukan tahanan politik, PKI, tapi tahanan imigrasi. Saya dibisukan," papar Pak Soes.

Sebelum keluar tahanan, ia diminta menulis surat pernyataan di atas meterai bahwa tidak akan pernah menulis semua yang terjadi selama di dalam penjara.

Tetapi ia tidak bisa diam dan akhirnya menulis sebagian pengalaman hidupnya di penjara dan dimuat dalam salah satu media cetak. Ia langsung dipanggil ke Kodim dan dimarahi habis-habisan. Ketika itu kepala Kodim menunjukkan surat pernyataan atas kesanggupan tidak akan menuliskan semua pengalaman di balik penjara.

"Tapi akhirnya saya dibebaskan dan petugas Kodim cuma bisa tersenyum. Saya jelaskan bahwa saya hanya menuliskan sebagian pengalaman, bukan keseluruhan pengalaman selama dalam penjara. Kalau cuma bercerita sebagian, bukan keseluruhan pengalaman, berarti saya kan tidak menyalahi surat pernyataan..."

Keluar dari penjara, Pak Soes bekerja serabutan di Jakarta dan Bekasi. Setelah rumah dan warungnya digusur, sejak tahun 2004 mendirikan dan mengelola Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) di rumah warisan keluarga, Blora. Ia pun mengulangi pekerjaan saat di Rusia, menjadi tukang gresek. 

Merah Putih Pataba/Foto: Hermard
Merah Putih Pataba/Foto: Hermard

Sesekali ia diundang sebagai narasumber. Hal ini bukan tanpa alasan karena ia seorang doktor, menulis lebih dari tiga puluh buku, menguasai bahasa Jawa, Rusia, Inggris, Belanda, dan Jerman; tahu persis mengenai karya dan kehidupan Pramoedya Ananta Toer.

"Dalam berbicara, saya tidak ingin dibatasi dengan tema. Saya tidak mau diperbudak tema. Terkadang saya menerima honor tinggi, tapi kadang kala harus tombok. Seperti terjadi saat di undang ke Bandung dan Yogyakarta."

Bukan itu saja, saat menerima bantuan berupa buku, rak, dan uang, ia pun diperlakukan sepihak. Barang sampai ke rumah, sedangkan uangnya tak pernah diterima. 

Tapi mau bagaimana lagi? Dari pada mengenang hal-hal pahit itu, saya lebih suka mengenang gadis-gadis yang pernah mencintai saya.

"Saya jadi tahu mengapa Soekarno benar-benar mencintai Hartini -- Siti Suhartini. Selain cantik, perempuan itu juga punya daya tarik sendiri yang tak dimiliki wanita lain."

Hidup harus berani/Foto: Hermard
Hidup harus berani/Foto: Hermard

Penulis yang cukup terkenal dengan buku Dunia Samin, Republik Jalan Ketiga, Anak Bungsu, Serigala, dan Pentalogi Pram, terkagum-kagum dan penasaran terhadap wanita-wanita cantik di Indonesia, termasuk kepada Najwa Shihab. 

Ia berharap bisa bertemu Najwa untuk membuktikan kepintaran dan kecantikan perempuan putri kedua Quraish Shihab itu.

Saat kami berpamitan, Pak Soes berkeyakinan akan diberi umur panjang untuk berbagi kebaikan.

"Sekarang usia saya delapan puluh enam tahun, sudah melewati usia Pramoedya empat tahun. Saya yakin bisa mencapai usia sembilan puluh enam tahun, bahkan seratus tahun lebih," ujar suami Suratiyem dan ayah dari Benee Santoso.

Papan nama yang merana/Foto: Hermard
Papan nama yang merana/Foto: Hermard

Selanjutnya Mas Landung, Mbak Ina, Mas Noereska, Mas Sani, Mas Heri, Mbak Ida, Mas Gundala, Mbak Betty, melangkah meninggalkan halaman rumah masa kecil Pramoedya Ananta Toer. 

Rumah bersejarah yang tanpa penanda karena papan nama dengan tulisan "Perpustakaan Pataba" berwarna biru di pagar depan, sudah berkarat, catnya mulai mengelupas, dan sekarang tertutup seng pos ronda dan lapak penjual mie ayam, sehingga sulit terbaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun