Sebelum keluar tahanan, ia diminta menulis surat pernyataan di atas meterai bahwa tidak akan pernah menulis semua yang terjadi selama di dalam penjara.
Tetapi ia tidak bisa diam dan akhirnya menulis sebagian pengalaman hidupnya di penjara dan dimuat dalam salah satu media cetak. Ia langsung dipanggil ke Kodim dan dimarahi habis-habisan. Ketika itu kepala Kodim menunjukkan surat pernyataan atas kesanggupan tidak akan menuliskan semua pengalaman di balik penjara.
"Tapi akhirnya saya dibebaskan dan petugas Kodim cuma bisa tersenyum. Saya jelaskan bahwa saya hanya menuliskan sebagian pengalaman, bukan keseluruhan pengalaman selama dalam penjara. Kalau cuma bercerita sebagian, bukan keseluruhan pengalaman, berarti saya kan tidak menyalahi surat pernyataan..."
Keluar dari penjara, Pak Soes bekerja serabutan di Jakarta dan Bekasi. Setelah rumah dan warungnya digusur, sejak tahun 2004 mendirikan dan mengelola Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) di rumah warisan keluarga, Blora. Ia pun mengulangi pekerjaan saat di Rusia, menjadi tukang gresek.Â
Sesekali ia diundang sebagai narasumber. Hal ini bukan tanpa alasan karena ia seorang doktor, menulis lebih dari tiga puluh buku, menguasai bahasa Jawa, Rusia, Inggris, Belanda, dan Jerman; tahu persis mengenai karya dan kehidupan Pramoedya Ananta Toer.
"Dalam berbicara, saya tidak ingin dibatasi dengan tema. Saya tidak mau diperbudak tema. Terkadang saya menerima honor tinggi, tapi kadang kala harus tombok. Seperti terjadi saat di undang ke Bandung dan Yogyakarta."
Bukan itu saja, saat menerima bantuan berupa buku, rak, dan uang, ia pun diperlakukan sepihak. Barang sampai ke rumah, sedangkan uangnya tak pernah diterima.Â
Tapi mau bagaimana lagi? Dari pada mengenang hal-hal pahit itu, saya lebih suka mengenang gadis-gadis yang pernah mencintai saya.
"Saya jadi tahu mengapa Soekarno benar-benar mencintai Hartini -- Siti Suhartini. Selain cantik, perempuan itu juga punya daya tarik sendiri yang tak dimiliki wanita lain."