Ketika melongok ke dalam dua ruangan (dulunya digunakan sebagai kamar tidur) berukuran tiga kali empat meter, juga dipenuhi buku dan lukisan.
Meskipun rambutnya sudah memutih dan wajahnya berkerut, namun saat berbicara, ia penuh semangat, sorot matanya tajam, dan daya ingatnya masih begitu kuat, baik menyangkut Marxis, Lenin, Friedrich Engels: Eine Unze Praxis ist besser, als eine Tonne Theorie (sedikit praktek lebih baik dari pada banyak teori), sampai mengenang kehidupan masa lalunya.
"Saya dua kali ketemu Presiden Soekarno di Moskow dan Istana Negara. Saat di istana, tiba-tiba saya ingin ke kamar mandi. Di dalam saya bertemu seseorang mengenakan celana pendek dan rambut kepalanya sedikit. Menunjukkan letak kamar mandi. E, ternyata ia orang penting," kenang Pak Soes.
Kemudian, penerima penghargaan Prasidatama (2018) untuk novel Dunia Samin, menceritakan bagaimana pengalaman sekolahnya yang tidak naik kelas saat kelas empat. Waktu ujian SMP juga tidak lulus.
"Lha bagaimana mau lulus, ketika mau ujian saya disuruh mengantar pembantu dari Jakarta pulang ke Cirebon. Saya tak berani membantah perintah. Ini berbeda saat ujian SMA, nilai matematika sepuluh, ekonomi sepuluh, sehingga masuk Universitas Indonesia jurusan Ekonomi tanpa tes."
Kepintaran Pak Soes memang tidak terbantahkan. Buktinya ia mampu mengambil pendidikan tingkat master di University Patrice Lumumba dan meraih gelar doktoral- Doktor Politik-Ekonomi-pada usia tiga puluh lima tahun di Universitas Plekhanov Moskow.Â
Ia merupakan satu-satunya dari Indonesia yang lolos seleksi penjaringan beasiswa otoritas Rusia diikuti sekitar sembilan ribu orang pendaftar. Ia salah satu yang diterima dari tiga puluh orang yang dinyatakan lolos seleksi.
"Rahasia pintar itu adalah jatuh cinta dan pacaran. Waktu SMA saya sudah pacaran dan nilai ujian bagus-bagus. Juga saat kuliah, didekati gadis gypsy Polandia berusia tujuh belas tahun. Padahal usia saya kala itu dua puluh tujuh tahun...Hahaha, jadi saya hebat kan?" tanya Pak Soes berkelakar.
Setelah sebelas tahun hidup di Rusia, penulis puluhan buku ini pulang ke Indonesia pada tahun 1973 dan langsung dijebloskan ke penjara karena dianggap punya hubungan dengan Partai Komunis Indonesia.Â
Menghuni penjara selama lima tahun lebih. Tanpa pembuktian proses peradilan, ia dibebaskan pada 28 Oktober 1978, tepat lima puluh tahun Sumpah Pemuda.
"Pengalaman hidup saya penuh hinaan. Saya bukan tahanan politik, PKI, tapi tahanan imigrasi. Saya dibisukan," papar Pak Soes.