"Mboten napa-napa. Ingkang penting bapake nyambut damel. Artane halal-Tidak apa-apa. Yang penting suami bekerja dan uangnya halal," ujar istri Jono penuh harap.
Peristiwa itu sengaja saya ungkapkan lagi di hadapan Satpam Jono malam itu sesaat sebelum pamitan pulang.
"Pikirkan dulu, jangan mengambil keputusan saat emosi. Saya yakin ini pasti bukan keputusan murni dari Mas Jono," ujar saya menutup pembicaraan.
Keputusan Satpam Jono pasti terkait dengan peristiwa dua hari sebelumnya, saat kami mengeluarkan Satpam Polan, koordinator Satpam, yang sudah beberapa kali ketahuan tidur di pos jaga saat bertugas.Â
Sebagai pengurus perumahan, tentu kami tidak enak hati dengan warga kalau mempekerjakan satpam tapi ternyata hanya pindah tidur dan mengabaikan keamanan perumahan. Apakah ia tidur karena kecapekan atau disebabkan faktor usia? Apapun alasannya, Satpam Polan sudah tidak layak dipertahankan.
Keesokan harinya Satpam Jono ditemani Satpam Niko datang ke rumah.
"Bagaimana Mas, jadi keluar? Sudah dipikirkan sungguh-sungguh? Tidak kasihan dengan istri dan anak-anak yang dulu mengantarkan sampeyan wawancara?"
Rentetan pertanyaan itu saya sampaikan mengawali pertemuan agar menyentuh sisi kemanusiaan sebagai suami yang harus bertanggung jawab menafkahi anak-istri. Setidaknya di mata keluarga, ia adalah pahlawan yang berjuang untuk mendapatkan rezeki.
"Iya Pak, nuwun sewu, saya tetap mau meneruskan bekerja, tidak jadi keluar Pak. Saya minta maaf."
"Benar Pak, kemarin Mas Jono dipengaruhi Mas Polan agar kami keluar bersama-sama. Dengan begitu perumahan akan kacau karena tidak ada tenaga keamanannya," jelas Satpam Niko.
Sampai saat ini Satpam Jono tetap bertahan menjalankan tugasnya dan menjadi satpam senior di perumahan. Ia merupakan "guru" bagi satpam lainnya.