Yogyakarta dan Jawa Tengah, terbit beberapa tahun lalu, saya menuliskan bahwa keberadaan keraton sebagai pusat peradaban masa lalu merupakan alur sejarah yang membuat Yogya-Jateng akrab dengan guratan budaya tradisi nan eksotik, tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan karena didukung kesetiaan masyarakat Yogya-Jateng pada nilai-nilai adiluhung.Â
Dalam sebuah buku mengenai pariwisataMeskipun demikian, dalam perkembangannya, Yogya-Jateng sebagai kota yang mengalami tantangan zaman dan kemajuan teknologi, tetap terbuka terhadap tuntutan kehidupan modern. Kondisi tersebut membuat Yogya-Jateng menjadi kawasan  menarik untuk dikunjungi maupun dihuni.
Tarik ulur keakraban nilai-nilai tradisi dan modernisasi tercermin dari harmonisnya hubungan pasar tradisional dengan pertumbuhan mal, supermarket, dan hypermarket, serta tidak terlepasnya garis arsitektur landscape perkembangan kota modern Yogya-Jateng dengan keunikan sketsa kota tua yang tidak mungkin terlupakan: Kotagede (Yogyakarta) dan Kota Lama (Semarang), tetap menawarkan kerinduan bagi siapa pun untuk merasakan sensasi keunikan jejak masa lalu.Â
Ditambah lagi dengan bangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pura Pakualaman, Keraton Surakarta Hadiningrat, dan Pura Mangkunegaran. Keberadaan pasar tradisional Beringharjo (Yogya), Pasar Gede (Solo), dan pasar Johar (Semarang) sampai saat ini tidak ditinggalkan masyarakat meskipun telah berdiri Malioboro Mall, Solo Grand Mall, dan Plaza Simpang Lima lengkap dengan simbol-simbol modernitas.
Keindahan dan keunikan Yogyakarta disempurnakan oleh kehidupan alaminya yang sangat menginspirasi: kayuhan sepeda onthel para petani di pagi hari, motor tua dengan dami di boncengan belakang, gerobak sapi di pinggiran kota, deretan  andong berjajar rapi di Malioboro, guratan wajah abdi dalem penuh semangat dan dedikasi saat menuju keheningan keraton, ketulusan masyarakat Jawa-tradisi dalam melakukan upacara sesaji, sawah yang terbentang hijau, jalan desa dipenuhi pepohonan dan sesekali terdengar kicau burung perkutut  yang sengaja dilepas liarkan, semua menghadirkan pemandangan serta sensasi mengesankan.Â
Masyarakat Yogyakarta membaur dalam kehangatan hubungan  dan selalu terbuka menyambut kehadiran siapa pun juga. Setiap bertemu dengan masyarakat, terutama di wilayah pedesaan, pasti akan mendapatkan sapaan ramah: mangga, badhe tindak pundi, pinarak; meskipun itu hanya sebagai basa-basi, tetapi menghadirkan keramahan masyarakat pedesaan.
Di sisi lain, wisata kuliner menawarkan cita rasa sensasional karena semua resep  diramu  dari keinginan berbagi kelezatan: dari resep masakan tradisional (oseng-oseng jipang, sayur tempe lombok ijo, sayur lodeh), menu para raja Jawa (gecok ganem, bestik lidah,  lombok kethok), sampai nikmatnya sego kucing di keremangan angkringan di berbagai penjuru perkotaan maupun pedesaan. Semua bukan sekedar bercerita tentang rasa, melainkan juga mengenai suasana.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Yogyakarta selalu muncul sebagai magnet kerinduan di hati siapa pun yang pernah mengunjunginya. Yogya hadir sebagai kawasan dengan warna berbeda dibandingkan dengan kota lain di Indonesia. la adalah rumah yang nyaman bagi kehidupan tradisi dan budaya, Â menjadi daerah tujuan wisata unggulan.Â
Kultur masyarakat Yogya berkembang dalam tarik ulur dua kutub yang saling mengisi: warisan nilai-nilai luhur masa lalu di satu sisi dan modernisasi di sisi lain. Â Kehangatan suasana Yogya selalu memikat karena keramahtamahan masyarakatnya yang setia dalam menciptakan keselarasan, keseimbangan, dan mengutamakan ketenteraman batin bagi sesama.
Kawasan Yogya tumbuh dalam kehangatan hubungan penuh warna-warni, menjadi tempat yang nyaman bagi siapa pun untuk menyaksikan berbagai atraksi budaya dengan beragam pesona. Puncak-puncak pencapaian budaya Jawa yang tak lekang oleh zaman menjadi inspirasi bagi seniman-seniman besar di dunia.Â