Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Menikmati Perburuan Pramoedya Lewat Nukilan Landung Simatupang

19 Oktober 2023   18:30 Diperbarui: 19 Oktober 2023   21:19 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Landung Simatupang (tengah) sebagai pencerita/Foto: Hermard

"Tetapi, orang tak bisa berkhianat selamanya dan dalam segala hal. Bisakah engkau jahat dalam segala hal?" tanya Den Hardo (Novel Perburuan).

Tampaknya, sejak semula Landung Simatupang, sutradara "Perburuan Pramoedya: Pertunjukan Pembacaan Prosa" menyadari bahwa melakukan adaptasi novel Perburuan (1950) karya Pramoedya Ananta Toer, bukanlah perkara mudah. 

Novel setebal seratus enam puluh halaman lebih itu dipentaskan hanya dalam durasi satu jam sekian menit. Dengan begitu Landung Simatupang saat melakukan adaptasi (proses alih wahana) memiliki strategi memilih peristiwa, pengadeganan, jalan cerita, tokoh (aktor) dan konflik yang diharapkan mampu menghipnotis penonton sepanjang pertunjukan. 

Hal ini dilakukan karena pada hakikatnya upaya pengalihwahanaan memiliki tuntutan agar sebuah karya terus berdetak dan mempunyai kehidupan baru. Artinya, alih wahana selayaknya mampu menghidupkan novel Perburuan yang ditulis pada tahun 1949-dan setelah mendapatkan penghargaan, diterbitkan tahun 1950.

Langkah kerja yang dilakukan Landung berhimpitan dengan gagasan Sapardi Djoko Damono. Penyair "Hujan Bulan Juni" ini mempercayai bahwa benda budaya yang dibentuk dari rangkaian aksara di kertas (novel, misalnya) jika dipindah ke atas panggung akan menjelma menjadi tontonan yang menuntut pertimbangan dan penilaian berbeda. 

Landung Simatupang (tengah) sebagai pencerita/Foto: Hermard
Landung Simatupang (tengah) sebagai pencerita/Foto: Hermard

Kepiawaian Landung, dibuktikan dalam pementasan Perburuan Pramoedya: Pertunjukan Pembacaan Prosa, 16 Oktober 2023, di Auditorium IFI-LIP-Sagan Yogyakarta, didukung pemeran Alex Suhendra (Karim), Enji Sekar (Ningsih), Landung Simatupang (Pencerita/Lurah Kaliwang), Putu Alit Panca (Sidokan-komandan Kenpei), Rendra Bagus Pamungkas (Den Hardo); dan musik oleh Bagus Mazasupa, Oscar Artunes, serta Kartika. 

Tentu saja para pemeran dan nama-nama yang terlibat dalam pementasan ini adalah orang-orang luar biasa, mampu menyiasati panggung.

Bagi Enji Sekar, keterlibatannya dalam Perburuan Pramoedya merupakan proses ke jalan menuju hal baru, bagaimana melisankan tulisan (dramatic reading).

Pementasan diawali dengan siaran lewat Radio Oemoem berupa ajakan agar Indonesia dan Nippon bekerja sama. Landung yang muncul sebagai pencerita, kemudian menjelaskan latar cerita. Di belakangnya, layar lebar menampilkan suasana dan benda-benda yang diujarkan Landung: bunga di dalam vas, meja bundar beserta empat kursi kayu, sebuah rumah dengan pintu menghadap ke stasiun kereta api, jendela bertirai kain kelambu. 

Pemanfaatan layar lebar merupakan salah satu kecerdikan sutradara dalam menggiring imajinasi penonton agar larut ke suasana cerita. Landung menyadari bahwa saat seseorang membaca novel Perburuan, pembaca bisa membayangkan kejadian, latar, sesuai dengan daya imajinasinya saat membaca.

Tetapi ketika dipanggungkan, yang tampak adalah para pemain (aktor) yang bergerak, sehingga imajinasi bisa mengembara kemanapun, dapat saja tercerabut dari naskah aslinya. Artinya, apresiasi penonton tidak sepenuhnya bersandar pada novel Perburuan, tetapi pada keseluruhan yang terjadi di panggung pertunjukan. 

Upaya meletupkan imajinasi penonton dilakukan agar suasana cerita terbangun dan terjaga sejak awal: ketika Radio Oemoem menyiarkan pengumuman, saat pencerita melukiskan latar cerita dengan detail, ketika tokoh Bu Guru Ningsih dan Shodanco Karmin masuk ke panggung.

Ketegaran Ningsih dan bayangan siluet/Foto: Hermard
Ketegaran Ningsih dan bayangan siluet/Foto: Hermard
Ketidakpercayaan Ningsih kepada Karmin, merupakan relasi oposisional yang diletupkan dari awal pertunjukan. Konflik antara Ningsih (tunangan Den Hardo) dan Karmin, pemimpin PETA (Pasukan Pembela Tanah Air) bikinan Jepang dengan apik dimainkan oleh Enji dan Alex.

Karmin datang ke rumah Ningsih, berusaha meyakinkan bahwa perempuan (yang diam-diam dicintainya) harus mempercayainya agar ia terlindungi dari kejaran Kenpei.

Di sisi lain, Ningsih sulit mempercayai Karmin karena lelaki inilah yang mengkhianati Hardo (tunangannya) dan Dipo, sehingga mereka diburu Nippon.

Untuk meluluhkan kekerasan hati Ningsih, Shodanco Karmin menceritakan kalau Lurah Kaliwang, ayah Ningsih, ditangkap Kenpei, disiksa agar menunjukkan keberadaan Den Hardo. Perempuan yang berprofesi sebagai guru itu tetap tidak mempercayai cerita Karmin.

Puncaknya Karmin mengatakan bahwa Lurah Kaliwang yang tidak kuat menjalani siksaan, akhirnya mengatakan mengetahui keberadaan Hardo, lelaki buruan Nippon itu adalah tunangan anaknya, Ningsih.

Ketakutan Ningsih memuncak karena pasukan Kenpei bergerak ke rumahnya. Karim meminta Ningsih segera menyingkirkan surat atau apa pun yang berkaitan dengan Hardo dan ia akan menyelamatkan Ningsih.

Begitulah, suspense cerita terus dijaga Landung Simatupang dengan sempurna, sehingga selama pertunjukan berlangsung, penonton seperti tersihir, terus mengikuti pertunjukan sampai pencapaian puncak tangga dramatik dan penyelesaian cerita: Ningsih tertembak peluru nyasar Sidokan, Karim menyerah karena Nippon kalah, dan Den Hardo melindungi Karim dari siksaan kaum republiken.

Layar lebar dimanfaatkan juga guna menampilkan tokoh Sidokan (pemimpin Kenpei) dan Den Hardo secara siluet. Meskipun ditampilkan melalui bayangan-kecuali tokoh Sidokan yang di bagian akhir keluar dari balik layar dan bermain gestur di stage depan-penonton dapat menikmati karakter, keinginan, perjuangan Den Hardo dan kebengisan Sidokan.

Untuk menguatkan bahwa pertunjukan merupakan pembacaan prosa, maka baik pencerita, tokoh Ningsih, dan Karim, tetap memegang buku dan (seolah-olah) mereka membaca. Di samping itu, perpindahan pemain sangat minimalis. 

Keberhasilan pertunjukan kali ini didukung oleh para pemain dengan karakter masing-masing yang begitu kuat, tanpa cela, dan iringan musik yang mampu membangun suasana kesedihan, hiruk pikuk, dan perasaan nglangut yang mendalam.

Poster pertunjukan/Foto: dokpri Hermard
Poster pertunjukan/Foto: dokpri Hermard

"Saya datang menonton karena ingin merefresh ingatan terhadap novel Perburuan. Di samping itu karena ini diadaptasi dan disutradarai Mas Landung Simatupang. Selebihnya didukung aktor muda berbakat," jelas Kris Budiman, penulis dan dosen Sekolah Pascasarjana UGM, sebelum pertunjukan dimulai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun