Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Mengarang, Mengasah Kreativitas

7 Oktober 2023   20:26 Diperbarui: 15 Oktober 2023   21:15 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Menulis puisi. (Dok. Pexels via kompas.com)

Dalam konteks makro, tulisan ini berkeinginan memberi rangsangan dan gambaran kepada rekan-rekan pendidik mengenai beberapa upaya yang dapat ditempuh agar pembelajaran bahasa/sastra Indonesia mampu mendekatkan siswa kepada dunia tulis-menulis sekaligus mengembangkan kreativitas. 

Di sisi lain, tulisan ini diharapkan mampu membuka cakrawala mengenai bagaimana upaya peningkatan kemampuan menulis.

Hasrat ini mengedepan mengingat kemampuan menulis sebagian siswa, guru, mahasiswa, dan masyarakat umum menjadi tanda tanya besar. Banyak siswa ketika diminta menulis, membuat laporan mengenai pengamatan mereka terhadap sesuatu, mendadak menjadi kacau, keder, dan bingung. 

Di sisi lain, ada guru tidak dapat naik pangkat karena kurang mampu menulis. Ada mahasiswa saat skripsi pun bingung mau memulai menulis dari mana. 

Kalau toh mampu menulis, kesalahan berbahasanya masih dapat dirasakan di sana-sini. Langkah praktis yang kemudian dilakukan orang adalah mengembangkan tradisi copy paste. 

Kini dengan adanya beragam aplikasi berkaitan dengan artificial intelligence (kecerdasan buatan), orang dalam sekejap dapat membuat tulisan apa pun tanpa harus bekerja keras. Banyak gagasan atau ide yang dituangkan dengan menggantungkan sepenuhnya kepada aplikasi kecerdasan buatan.

Kira-kira dimana letak kesalahan pembelajaran kita, sehingga untuk sekadar "menulis" saja banyak siswa, guru, dan mahasiswa mengalami kesulitan?

Kenyataannya, pembelajaran di sekolah, termasuk pembelajaran sejarah dan sastra, selalu berpijak dalam kerangka siswa harus hafal mengenai berbagai hal. Misalnya, kapan terjadinya perang Diponegoro, sejak kapan kerajaan Islam berdiri di Indonesia; Chairil Anwar termasuk pengarang Angkatan 45 atau Pujangga Baru, apa ciri karya sastra Balai Pustaka? 

Pertanyaan yang diajukan guru tidak memberi tantangan bagi siswa untuk mengeksplorasikan diri dalam beberapa mata pelajaran. 

Saya teringat kembali saat mengikuti kuliah umum Taufik Abdullah (sejarawan) di Pusat Bahasa, Rawamangun (pada penghujung tahun 1990-an) dalam rangka pencerapan ilmu penyusunan sejarah sastra. Lelaki penerima Hadiah Budaya Asia Fukuoka Jepang (1991), memberi kesempatan kepada peserta untuk mengajukan pertanyaan.

"Tapi tolong pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan cerdas. Jangan cuma apa dan kapan. Sebaiknya pertanyaan yang membuat kita berpikir dan menjadi tambah cerdas," pinta Taufik Abdullah tegas.

Meningkatkan kreativitas siswa/Foto: DPAD DIY-dokpri Hermard
Meningkatkan kreativitas siswa/Foto: DPAD DIY-dokpri Hermard

Permintaan Taufik Abdullah tersebut menggambarkan kegelisahannya terhadap dunia pendidikan yang kurang eksploratif. 

Kenyataannya, sebagian siswa tidak memiliki daya eksploratif karena masyarakat terlanjur mendudukan guru sebagai dewa yang maha benar, kena digugu lan ditiru. 

Untuk itu tabu rasanya jika menyalahkan pendapat guru, dan wajar jika siswa yang berselisih pendapat dengan guru, terkadang mendapat perlakuan khusus, dijothak, meskipun siswa tersebut memiliki daya letup eksploratif luar biasa.

Apakah ekplorasi perlu mendapat prioritas dalam dunia pendidikan?

Kalau pertanyaan ini dikaitkan dengan pengembangan kreativitas, maka mau tidak mau, siapa pun harus bersedia melakukan eksplorasi, mengembangkan daya imaji agar dalam menanggapi sesuatu tidak hanya berdasarkan hafalan.

Pilihan ini sangat diperlukan agar kreativitas berkembang. Sudah sejak lama kreativitas siswa tidak berkembang dengan baik karena sistem pendidikan terlalu intruksional.

Siswa memiliki rasa rendah diri sehingga kerap "melarikan" atau "menyembunyikan" diri saat dikritik, dan kemungkinan lainnya-setelah dewasa-siswa dan beberapa dari kita mengalami tekanan yang begitu berat dalam menjalani hidup.

Bukankah dulu di sekolah dasar kita mendapat pelajaran mengarang dan itu setidaknya berfungsi untuk membangun kreativitas?

Dulu, sejak sekolah dasar kita sudah akrab dengan pelajaran mengarang. Tentunya hal tersebut bermanfaat dalam pengembangan kreativitas verba linguistis, yaitu kemampuan memanfaatkan dan memanipulasi kata, baik secara lisan maupun tertulis. 

Pertanyaannya adalah, sejauh mana pelajaran mengarang (biasanya masuk dalam pelajaran bahasa Indonesia) benar-benar mampu membangkitkan kreativitas siswa?

Kenyataannya, dalam pelajaran mengarang pun siswa tidak diberi kebebasan bereksplorasi secara mutlak. Guru terkadang membatasi tema karangan, panjang karangan, dan ketentuan-ketentuan lain yang menyebabkan siswa kurang merasa nyaman dan mungkin merasa frustasi.

Parahnya lagi, pelajaran mengarang berupa tugas pekerjaan rumah. Siswa melaksanakan tugas dengan mengandalkan kemampuan personal, tanpa masukan maksimal dari guru. 

Di sisi lain, guru kerap kali tidak sempat membaca dengan cermat karangan-karangan yang dikumpulkan para siswa. Kondisi ini berpengaruh pada nilai yang diberikan.

Langkah apa yang harus ditempuh untuk menciptakan situasi agar pelajaran mengarang bisa menumbuhkan kreativitas?

Pertama-tama memberi penjelasan kepada siswa mengenai unsur-unsur pembangun sebuah karya tulis. 

Guru menjelaskan definisi gagasan/ide/buah pikiran, bagaimana cara mendapatkan dan mengelola ide, upaya memanfaatkan unsur-unsur kebahasaan, bagaimana memilih media yang tepat agar tulisan siswa dapat terpublikasikan.

Selanjutnya menjelaskan dengan rinci tahapan proses kreatif dalam menciptakan tulisan. Apa saja yang harus dipersiapkan dan dilakukan dalam masing-masing tahapan proses kreatif itu.

Dengan begitu, pelajaran mengarang sebaiknya dimunculkan kembali dan dikembangkan dengan sungguh-sungguh?

Ini merupakan kerja keras dalam rangka memperbaiki kemampuan siswa menulis kreatif. Guru sebaiknya memberi pengalaman empirik kepada siswa dalam hal tulis-menulis. Guru juga mau terlibat dalam proses verifikasi setiap karya siswa. 

Artinya, tujuan akhir dari pelajaran mengarang bukan sekadar siswa mendapatkan nilai, tetapi yang lebih penting dari semua itu, siswa terlibat dalam setiap tahapan proses kreatif menulis, mempunyai kesempatan publikasi karya dengan arahan intens dari guru. 

Dalam konteks ini tentu saja guru harus selalu mengasah dan meningkatkan kemampuan menulis lewat berbagai pelatihan atau lokakarya penulisan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun