Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ahmad Tohari: antara Falsafah Jawa dan Wong Cilik

17 September 2023   17:52 Diperbarui: 18 September 2023   21:29 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehadiran Ahmad Tohari, santri kelahiran Tinggarjaya 13 Juni 1948, dalam dunia sastra Indonesia memberi corak tersendiri bagi perkembangan kesastraan (di) Indonesia. Novel pertamanya, Kubah (1980) dinyatakan sebagai fiksi terbaik oleh Yayasan Buku Utama. Sebelum itu, cerpennya "Jasa-Jasa Buat Sanwirya" (1977) mendapat penghargaan juara harapan Sayembara Penulisan Cerpen Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep. 

Novel lainnya, Di Kaki Bukit Cibalak (1986) meraih penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Nama Ahmad Tohari semakin meruyak setelah berhasil menerbitkan Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jantera Bianglala (1986). Baik Kubah dan Ronggeng Dukuh Paruk telah diterbitkan dalam edisi bahasa Jepang oleh Imura Cultural Co. Ltd, Tokyo, Jepang.

Nilai tambah yang menyertai karya-karya Ahmad Tohari adalah kepiawaian pengarang dalam menciptakan tragedi bagi tokoh-tokoh cerita yang umumnya berasal dari golongan wong cilik, di samping gaya bahasanya yang lugas serta kuatnya metafora dan ironi yang ditampilkan.

Maman Mahayana menilai karya-karya Ahmad Tohari berhasil menampilkan dunia pedesaan yang lugu, kumuh, telanjang, dan alami; kekuatan penampilan latar tersebut terasa pas karena tokoh sentralnya adalah warga desa dari kalangan wong cilik yang seakan-akan mewakili teriakan rakyat kecil atau masyarakat petani yang miskin, bodoh, dan melarat.

Sosok Karyamin, Surabanglus, Blongkeng, Kenthus dan Pengemis adalah tokoh-tokoh yang dihadirkan Ahmad Tohari dalam antologi cerita pendek Senyum Karyamin (cetakan pertama tahun1989 dan cetakan kesebelas, 2019 ). Antologi tersebut berisi tiga belas cerpen yang ditulis antara tahun 1976-1986. 

Kecuali cerpen "Jasa-Jasa Buat Sanwirya" (dimuat dalam antologi Dari Jodoh sampai Supiyah), semua cerpen dalam Senyum Karyamin merupakan cerpen-cerpen yang pernah dimuat di berbagai media massa, antara lain Kompas, Minggu Ini, Warta NU, Panji Masyarakat, dan majalah Amanah. 

Cerpen-cerpen yang termuat dalam Senyum Karyamin memiliki beragam tema berkaitan dengan eksistensi wong cilik: pencari kayu di hutan, pencari batu kali, pengemis, tukang adu ayam, wong gemblung (orang tidak waras pikirannya), dsb..

Kumpulan cerpen Senyum Karyamin memperlihatkan kekuatan dalam menampilkan tekstur warna lokal Jawa, baik lewat pemakaian nama (orang, tempat, binatang, tumbuhan), pemanfaatan idiom-idiom Jawa, dan keyakinan pada falsafah Jawa. 

Tohari mengakui bahwa dari beberapa pengaruh luar yang berperan dalam proses kreatifnya, falsafah Jawa (terutama tentang keselarasan alam) adalah hal yang paling menonjol dan dirasakan sebagai bagian kesadaran yang muncul ke permukaan. 

Konsep nrima dan ngono ya ngono ning aja ngono, misalnya, tampak dalam cerpen "Senyum Karyamin". Di sisi lain, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk menyiratkan konsep ing madya mangun karsa sehingga keberadaan Rasus dalam cerita tidak "otoriter"; ia selalu bergerak bersama-sama dengan masyarakat Dukuh Paruk.
 
Dari Konsep Nrima sampai Aja Dumeh
Dalam beberapa cerpen Ahmad Tohari ditemukan elemen tekstual yang mengacu kepada ruang dan waktu, sistem sosial (dan politik), serta kebudayaan tertentu. 

Hal itu muncul dalam bentuk deskripsi, pikiran-pikiran, dan perilaku tokoh cerita. Elemen yang dominan adalah elemen tekstual berkaitan dengan sistem sosial dan kebudayaan tertentu (baca: Jawa). Ini terjadi karena (1) cerpen-cerpen Ahmad Tohari lebih terkesan sebagai "dongeng" sehingga ia tidak terlalu mempersoalkan ruang dan waktu; serta (2) Ahmad Tohari lahir dalam budaya Jawa sehingga dalam proses kreatifnya ia secara total mengejawantahkan konsep atau pandangan hidup budaya Jawa. 

Sebagai pengarang berlatar Jawa-dengan pemahaman dan penghayatan sebagai bagian dari kesadaraan pelaku budaya-maka keterpengaruhan (kejawaan) itu terasa wajar dan alami.

Aspek referensial (konteks sosial) yang ditampilkan Ahmad Tohari dalam beberapa cerpennya berkisar pada konsep pandangan hidup orang Jawa, bermuara pada konsep pasrah, nrima, eling lan waspada, ojo dumeh, dsb. 

Sikap hidup orang Jawa umumnya tercermin dalam alam kebatinan orang Jawa yang pada dasarnya ingin mencapai suatu harmoni (keseimbangan hidup). Sikap nrima, misalnya, adalah sikap merasa puas dengan segala nasib dan kewajiban. Sikap nrima (Magnis Suseno) menuntut kekuatan untuk menerima segala sesuatu tanpa harus membiarkan diri dihancurkan oleh sesuatu. 

Di samping itu, orang Jawa diharapkan bersikap sederhana (prasaja), menganggap diri lebih rendah dari orang lain (andap asor), dan sadar akan batas-batas serta situasi dalam bergerak atau berbuat (tepa slira). Sikap sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan ketaksabaran, dan ketiadaan nafsu yang bergolak (Clifford Geertz). Sikap sabar berkaitan dengan sikap rila dan nrima: orang yang rila dan nrima akan menjadi sabar dan bijaksana karena pengalaman.

Cerpen "Senyum Karyamin" mengedepankan upaya pencapaian harmoni kehidupan tokoh-tokoh cerita dengan berpegang pada konsep nrima, tercermin melalui sikap dan pandangan tokoh Karyamin-pasrah menghadapi realitas kehidupan.

Sikap pasrah Karyamin dan beberapa tokoh lainnya lahir dari kepahitan hidup yang harus mereka jalani setiap hari; misalnya tentang tengkulak-tengkulak yang melarikan tumpukan batu, tentang tunggakan utang kepada penjual nasi pecel dan bank harian, serta tentang "nomor buntut" yang selalu gagal mereka peroleh.

Konsep nrima tersebut sangat masuk akal dikedepankan Ahmad Tohari karena latar tempat terjadinya peristiwa adalah di sebuah desa (gerumbul). Desa (bagi kebanyakan orang Jawa) merupakan cermin kehidupan yang bersahaja dan menunjuk pada realitas kemiskinan, dan ini identik dengan watak tokoh Karyamin yang tidak berkembang. 

Secara eksplisit hal ini mendukung permasalahan cerita mengenai kehidupan masyarakat desa yang "terperangkap" atau "diperangkap" oleh konsep hidup nrima yang berkorelasi dengan situasi kemiskinan. 

Sikap nrima dalam "Senyum Karyamin" tampak dalam kehadiran Karyamin dan tokoh-tokoh lainnya yang tidak memperlihatkan sikap menentang atau memberontak terhadap nasib dan kepahitan hidup; tokoh-tokoh cerita secara sadar mengikuti garis takdir mereka. Ada semacam "kepuasan" tokoh-tokoh cerita dalam menjalani dunia mereka --"kepuasan" tersebut ditunjukkan melalui sikap tokoh-tokoh cerita yang selalu "tersenyum" dalam memasuki dan menjalani dunia mereka, dunia kemiskinan dan kemelaratan.

Berbeda dengan cerpen "Senyum Karyamin", cerpen "Kenthus" mengedepankan falsafah Jawa berkaitan dengan konsep aja dumeh. Niels Mulder menerjemahkan makna ojo dumeh sebagai 'jangan mentang-mentang'. Artinya, jangan berpikir bahwa semua hal boleh dilakukan karena individu merasa lebih unggul. 

Dalam sistem sosial Jawa, konsep nilai aja dumeh sering dimanfaatkan untuk menyindir keadaan seseorang atau kelompok sosial tertentu yang memperoleh kekayaan atau kekuasaan sehingga mereka memanfaatkan kekayaan atau kekuasaan itu secara otoriter (adigang-adigung).

Situasi semacam ini umumnya dialami oleh kelompok OKB (orang kaya baru) dengan menampakkan fenomena neofeodalisme: mengutamakan "kekuasaan" daripada kemampuan dan mementingkan kekayaan daripada kebijaksanaan. 

Gejala neofeodalism tampak dalam eksistensi tokoh Kenthus. Sikap Kenthus saat menyuruh istrinya, Dawet, menyediakan secangkir kopi dan Gudang Garam, mengisyaratkan makna hidup mewah seperti yang diimpikan Kenthus. 

Juga saat Kenthus menyaksikan banyaknya orang yang datang ke rumahnya untuk menyetor buntut tikus: dalam penglihatan Kenthus, mereka tidak lebih dari liliput yang berdesakan seperti bebek menunggu gabah. 

Tokoh cerita Kenthus diciptakan Ahmad Tohari untuk mewakili gambaran manusia neo-feodal-- Kenthus adalah lambang manusia yang menjadi kaya dan berkuasa tanpa memiliki karisma sebagai seorang hartawan. Gambaran watak atau sikapnya yang diidentikkan dengan tokoh Dursasana lebih mempertegas makna simbolisasi yang dimaksud. Tokoh Dursasana dalam cerita wayang mewakili keluarga besar Kurawa, melambangkan tiga kekuatan: kekacauan, nafsu, dan keinginan.

Pemerolehan wahyu cakraningrat (sebagai pelaksana proyek pengadaan buntut tikus) dan mimpi nunggang macan (tanda akan memperoleh "kekuasaan") merupakan dua faktor yang menyebabkan tokoh Kenthus eksis sebagai subjek dan tokoh-tokoh lain hanya berfungsi sebagai objek, yaitu liliput-liliput yang tak berharga. 

Dalam kaitannya dengan sistem semiotik, ungkapan "liliput " dalam cerpen "Kenthus" mengacu kepada makna wong cilik, yakni manusia-manusia yang dalam pandangan Kenthus berada di bawah "kekuasaan"-nya -manusia-manusia yang selalu membutuhkan kehadirannya.  

Penyebutan "liliput" bagi orang lain ini merupakan bentuk kesombongan tokoh Kenthus sebagai orang kaya baru, hal ini dapat dikaitkan dengan masa lalunya yang hanya berperan sebagai penggembala kerbau dan pencari kayu bakar.

Cerpen-cerpen Ahmad Tohari dalam antologi Senyum Karyamin memiliki ciri spesifik dengan mengedepankan tokoh-tokoh wong cilik sebagai pemegang pemeran utama. Menurut beberapa pemerhati sastra, hal ini terkait erat dengan latar dunia pedesaan yang lugu, kumuh, telanjang, dan alami, yang ternyata masih tetap menjanjikan kedamaian yang tulus tanpa pamrih. 

Kehadiran tokoh-tokoh marginal dalam Senyum Karyamin seakan mewakili teriakan rakyat kecil yang bodoh, "terpenjara", dan melarat. Dalam kesederhanaan penampilan latar dan tokoh-tokoh cerita yang bekerja sebagai pencari batu kali, pencari kayu bakar, pengemis, tukang adu ayam, dsb; Ahmad Tohari justru memperlihatkan kemonceran (keunggulan)-nya dalam menciptakan karya sastra. 

Hal ini terjadi karena lewat konflik-konfik dalam lingkaran kehidupan wong cilik, Tohari mampu mewujudkan lambang atau simbol berbagai masalah yang rumit dan sangat berharga untuk dihayati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun