Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyandiwarakan Cerpen dan Novel

11 September 2023   19:38 Diperbarui: 12 September 2023   10:39 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana rekaman sandiwara radio berjudul “Yang Mampu dan Yang Tidak Mampu" di Sanggar Pratiwi Jakarta pada September 1983. (KOMPAS/Don Sabdono)

Melakukan penciptaan naskah sandiwara radio dengan mengadaptasi atau menggubah cerpen, bukan pekerjaan yang mudah karena ada pembeda penting antara cerpen dan naskah sandiwara radio.

Cerpen merupakan karya sastra yang mengandalkan kekuatan teks untuk membangun tokoh, konflik, suasana dan peristiwa dramatik, sedangkan naskah sandiwara radio lebih mengandalkan kekuatan auditif, baik berkaitan dengan seting ruang, waktu, persoalan, tokoh, alur, konflik, maupun suasana dramatik. 

Dengan begitu, penulis naskah sandiwara radio dituntut mampu memberikan imajinasi auditif.

Ketika seorang penulis mengadaptasi cerita pendek ke dalam naskah sandiwara radio, maka ia harus berpikir secara auditif; tidak hanya sekadar memindahkan narasi dan dialog cerpen ke dalam bentuk naskah sandiwara radio.

Penulis dituntut mampu menafsirkan teks cerpen menjadi urutan adegan, disusun berdasarkan alur cerita. Masing-masing adegan diolah menjadi peristiwa dramatik berkaitan dengan ruang, waktu, tokoh, tindakan tokoh, persoalan, dan suasana.

Artinya, dibutuhkan kekuatan imajinatif untuk menciptakan berbagai adegan. Tidak bisa penulis naskah sandiwara radio hanya melakukan copy paste atas cerpen yang akan dialihmediakan. 

Samdiwara radio berbahasa Jawa/Foto: Swarabawa-Disbud DIY
Samdiwara radio berbahasa Jawa/Foto: Swarabawa-Disbud DIY

la harus melakukan eksplorasi estetik dan eksplorasi ide demi menemukan dunia baru, dunia kemungkinan: jagat naskah sandiwara yang mempertaruhkan diri pada kekuatan auditif, kekuatan peristiwa dramatik, kekuatan dialog. dan lainnya; bukan (sekadar) pernyataan/statement.

la juga harus mengubah format cerpen naratif menjadi format naskah sandiwara radio yang terdiri dari rangkaian adegan pembentuk alur. Dalam setiap adegan terkandung penjelasan seting ruang, waktu, suasana, dan keterangan atas tindakan dan dialog. Dengan demikian, tidak cukup bagi penulis jika hanya mengandalkan "kemurnian" cerpen yang diadaptasi.

Sampai di sini, sejatinya penulisan naskah sandiwara berbasis cerpen, merupakan penciptaan dunia kreatif (baru) yang menarik dan menantang. Seperti juga pengalihan cerpen ke dunia pentas/panggung (Indra Tranggono) memerlukan letupan kreativitas.

Radio masa lalu/Foto: dokpri Hermard
Radio masa lalu/Foto: dokpri Hermard
Dalam Sayembara Lomba Penulisan Naskah Sandiwara Radio dua tahun lalu, diadakan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, setidaknya ada empat karya adaptasi berasal dari cerita pendek, yaitu (1) Nyidham, (2) Rabine Sobriah, (3) Mbah Mukti, dan (4) Mbededhak Dhemit. Tiga naskah terakhir tidak lolos karena kurang menampakkan letupan kreativitas dalam alih media.

Ketiganya masih meninggalkan jejak-jejak bentuk penulisan cerita pendek, baik dari sisi penyusunan dialog, pengadeganan, maupun pengaluran.

Seperti digagas Sapardi Djoko Damono (2012), alih media (terjemahan/adaptasi, misalnya) menyebabkan karya sastra mampu bertahan hidup, mengalami kehidupan kedua, second existence. 

Alih media dari bentuk cerpen/novel ke dalam naskah siaran radio, menuntut berbagai perubahan, trik, dan kepiawaian reproduksi naskah agar mampu dipahami oleh pendengar radio, khususnya pandemen siaran sandiwara radio berbahasa Jawa.

Alih media dari novel ke dalam naskah sandiwara radio sudah dilakukan sejak tahun 1970-an. Misalnya saja sandiwara radio bahasa Jawa yang berasal dari novel The Taste of Power, Soemardjono, penulis naskah/sutradara sandiwara radio berbahasa Jawa RRI Yogyakarta, harus mengganti nama tokoh, menyusun dialog dalam bahasa Jawa dengan memperhatikan unggah-ungguh, dan menciptakan tempat bermain tokoh (latar) agar bisa dibayangkan dan dipahami oleh pendengar.

Tentu saja ini (seperti pernah saya tulis) memerlukan daya letup kreativitas Soemardjono, ia harus memiliki keberanian "mengkhianati" The Taste of Power. Kehadiran The Taste of Power pun dibumbui pengkhianatan kreatif yang dilakukan Paul Stevenson terhadap novel Ako Chut Moc (semula berbahasa Slowakia). 

Pendengar sandiwara radio tentu tidak mau direcoki mengenai dari mana asal naskah yang disiarkan, mereka lebih menuntut sosok dan watak tokoh serta latar kejawaan yang mampu dibayangkan dan diakrabi saat mendengarkan siaran sandiwara radio berbahasa Jawa.

Kerja mengalihwahanakan tersebut tentu memerlukan "jurus-jurus maut" agar bentuk asli berupa cerpen atau novel dapat ditakhlukkan, disiasati, dimaipulasi, sehingga mampu dinikmati pendengar sandiwara radio dengan latar kejawaan yang begitu kental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun