Ketiganya masih meninggalkan jejak-jejak bentuk penulisan cerita pendek, baik dari sisi penyusunan dialog, pengadeganan, maupun pengaluran.
Seperti digagas Sapardi Djoko Damono (2012), alih media (terjemahan/adaptasi, misalnya) menyebabkan karya sastra mampu bertahan hidup, mengalami kehidupan kedua, second existence.Â
Alih media dari bentuk cerpen/novel ke dalam naskah siaran radio, menuntut berbagai perubahan, trik, dan kepiawaian reproduksi naskah agar mampu dipahami oleh pendengar radio, khususnya pandemen siaran sandiwara radio berbahasa Jawa.
Alih media dari novel ke dalam naskah sandiwara radio sudah dilakukan sejak tahun 1970-an. Misalnya saja sandiwara radio bahasa Jawa yang berasal dari novel The Taste of Power, Soemardjono, penulis naskah/sutradara sandiwara radio berbahasa Jawa RRI Yogyakarta, harus mengganti nama tokoh, menyusun dialog dalam bahasa Jawa dengan memperhatikan unggah-ungguh, dan menciptakan tempat bermain tokoh (latar) agar bisa dibayangkan dan dipahami oleh pendengar.
Tentu saja ini (seperti pernah saya tulis) memerlukan daya letup kreativitas Soemardjono, ia harus memiliki keberanian "mengkhianati" The Taste of Power. Kehadiran The Taste of Power pun dibumbui pengkhianatan kreatif yang dilakukan Paul Stevenson terhadap novel Ako Chut Moc (semula berbahasa Slowakia).Â
Pendengar sandiwara radio tentu tidak mau direcoki mengenai dari mana asal naskah yang disiarkan, mereka lebih menuntut sosok dan watak tokoh serta latar kejawaan yang mampu dibayangkan dan diakrabi saat mendengarkan siaran sandiwara radio berbahasa Jawa.
Kerja mengalihwahanakan tersebut tentu memerlukan "jurus-jurus maut" agar bentuk asli berupa cerpen atau novel dapat ditakhlukkan, disiasati, dimaipulasi, sehingga mampu dinikmati pendengar sandiwara radio dengan latar kejawaan yang begitu kental.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H