Berita viral mengenai pemotongan rambut di sekolah, baik itu yang dilakukan terhadap siswa laki-laki maupun perempuan, tentu mengundang perhatian dan berbagai komentar dari nitizen.Â
Peristiwa paling istimewa adalah pemotongan rambut belasan siswi di Lamongan gegara tidak memakai ciput (bagian dalam kerudung). Ini bisa jadi merupakan peristiwa "kurang mengenakan" di dunia pendidikan seandainya motif razia rambut siswi tidak memiliki alasan  jelas.Â
Terlebih sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahui bahwa rambut merupakan mahkota bagi perempuan, harus dijaga sebaik-baiknya.
Lepas dari razia rambut di tingkat SD dan SLTP, saya punya pengalaman pribadi saat duduk di bangku SMA (awal tahun 1980-an). Niatnya mau masuk SMA Kolese De Brito, biar bisa berpenampilan bebas: rambut gondrong, pakaian mangga kersa, hal terpenting berotak encer.
Malangnya, Â itu hanya sebatas keinginan. Kenyataannya saya justeru harus menerima nasib masuk SMA yang sangat disiplin di antara sekolah lain di Yogyakarta.Â
Tidak seperti sekolah pada umumnya, seragam kami putih-putih, bukan putih abu-abu. Setiap hari harus memakai dasi, baju dimasukan, mengenakan ikat pinggang, Â bersepatu hitam.Â
Jangan pernah melanggar salah satu peraturan itu karena pasti  mendapat teguran atau dipanggil guru BK (Bimbingan Konseling) sekadar "dibunyi-bunyikan".Â
Pelanggaran dengan sanksi  paling berat jika siswa berambut gondrong, alias panjang rambut melebihi kuping.  Bukan hanya disetrap (dihukum) di depan kelas, bukan hanya "dibunyi-bunyikan", dinasihati, tetapi dipanggil ke ruang BK untuk dicukur sekehendak hati guru BK dengan (tentu saja) hasilnya amburadul!Â
Seandainya saat itu sudah ada media sosial, tiktok, pasti peristiwa bersejarah tersebut akan melebihi viralnya razia rambut di Lamongan. Mengapa? Ya karena saya sendiri hampir dua bulan sekali terkena razia!
Untungnya semua saya jalani dengan kesadaran. Ya, sadar kalau memang menyalahi peraturan sekolah. Hal yang tidak segera saya sadari saat mendapatkan nilai enam di rapor untuk pelajaran bahasa Indonesia.Â
Bayangkan saja, meskipun saya berada di jurusan IPA, sebenarnya tugas mengarang dan ulangan harian bahasa Indonesia selalu mendapat angka tujuh atau delapan.Â
Lalu apa yang salah? Â Ah, ini pasti kesalahan sistem, mengapa juga guru BK merangkap sebagai guru bahasa Indonesia? Â Bukankah ini yang menyebabkan nilai bahasa Indonesia tidak lagi objektif, dikaitkan dengan kegiatan potong rambut gratis?
Entah mengapa tiba-tiba  timbul perasaan dendam kepada guru bahasa Indonesia. Ingin rasanya mempunyai kesempatan membuktikan bahwa saya bisa menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan angka enam dalam rapot tidak layak diberikan kepada murid ndablek ini.
Cita-cita masuk ke Fakultas Biologi terpaksa urung, demi pembuktian bahwa murid ndablek sungguh menguasai bidang bahasa dan mengarang. Maka  mengambil jurusan Sastra Indonesia UGM merupakan jalan terbaik yang terpikirkan.
Begitu diterima kuliah di sastra, ternyata nasib seburuk potong rambut di ruang BK menjadi berkepanjangan. Calon ibu mertua yang tahu saya kuliah di Fakultas Sastra langsung protes keras.
"Sebaiknya kalian putus saja. Apakah kalian, e, Â anak saya akan kenyang diberi makan puisi, cerpen, dan imajinasi?"
Tiga hari setelah itu, cinta monyet pun berakhir. Hem, berawal dari tragedi potong rambut, nilai bahasa Indonesia ambyar, memilih kuliah di jurusan sastra, akibatnya hilang pula kekasih tercinta!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H