Lalu apa yang salah? Â Ah, ini pasti kesalahan sistem, mengapa juga guru BK merangkap sebagai guru bahasa Indonesia? Â Bukankah ini yang menyebabkan nilai bahasa Indonesia tidak lagi objektif, dikaitkan dengan kegiatan potong rambut gratis?
Entah mengapa tiba-tiba  timbul perasaan dendam kepada guru bahasa Indonesia. Ingin rasanya mempunyai kesempatan membuktikan bahwa saya bisa menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan angka enam dalam rapot tidak layak diberikan kepada murid ndablek ini.
Cita-cita masuk ke Fakultas Biologi terpaksa urung, demi pembuktian bahwa murid ndablek sungguh menguasai bidang bahasa dan mengarang. Maka  mengambil jurusan Sastra Indonesia UGM merupakan jalan terbaik yang terpikirkan.
Begitu diterima kuliah di sastra, ternyata nasib seburuk potong rambut di ruang BK menjadi berkepanjangan. Calon ibu mertua yang tahu saya kuliah di Fakultas Sastra langsung protes keras.
"Sebaiknya kalian putus saja. Apakah kalian, e, Â anak saya akan kenyang diberi makan puisi, cerpen, dan imajinasi?"
Tiga hari setelah itu, cinta monyet pun berakhir. Hem, berawal dari tragedi potong rambut, nilai bahasa Indonesia ambyar, memilih kuliah di jurusan sastra, akibatnya hilang pula kekasih tercinta!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H