Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sastra sebagai Warga Negara Kelas Dua di Sekolah

6 September 2023   07:01 Diperbarui: 6 September 2023   09:21 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar menulis cerpen di luar sekolah/Foto: Hermard

Pembelajaran atau pengajaran sastra sangat penting untuk mengembangkan imajinasi, daya khayal, dan kreativitas di kalangan remaja. Saat ini remaja kita miskin kreativitas dan tidak memiliki letupan daya imajinasi. Diminta membuat karangan sederhana saja mereka bingung. 

Persoalan ini mengemuka karena segala sesuatu tidak lagi dipikirkan secara kreatif --imajinatif tetapi dengan hafalan-hafalan yang terus diingat dan melekat dalam pikiran remaja. 

Kondisi ini menyebabkan sebuah kata memiliki pengertian yang sempit bagi remaja. Coba saja kita lontarkan kata malam di kelas dan meminta para siswa mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dengan kata malam tersebut....pasti jawabannya: sunyi, sepi, sendiri, dingin.... 

Ini terjadi karena pembelajaran sastra tidak berjalan dengan baik, sehingga makna kata selalu dikaitkan dengan pengertian denotatif referensial dan bukan pengertian konotatif dengan kemungkinan pemaknaan melebar, membeleber, dan bersayap. Bahwa malam bisa mengacu kepada bahan pembuatan batik, malam di tempat hiburan tidaklah sunyi, sepi, apalagi dingin...

Pengajaran sastra sebaiknya berkaitan dengan kemampuan mengembangkan imajinasi dan kreativitas. 

Misalnya saja saat siswa diminta membuat sebuah karangan "Berlibur ke Rumah Nenek", pasti mereka akan berusaha sekuat tenaga mengembangkan imajinasi dalam menghadirkan gambaran seorang nenek, memikirkan urutan peristiwa yang akan diceritakan, mengaitkannya dengan latar tempat yang akan dihadirkan; semua tentu memerlukan ide yang bisa saja didapatkan dari pengamatan, pembacaan, atau pengalaman-pengalaman tertentu. 

Lepas dari semua itu, maka kreativitas personal akan membedakan karya yang satu dengan karya lainnya. Jadi, sastra mampu mengembangkan pikiran memahami segala kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam dunia imajinatif yang tidak dapat dilepaskan dari dunia kenyataan.

Apa sebenarnya yang menyebabkan remaja kurang kreatif? Apakah karena mereka dihadapkan pada budaya instan yang selalu mengepung dimanapun mereka berada?

Asumsi ini memerlukan kajian mendalam. Saya pernah membaca sebuah literatur yang mencoba mengupas matinya kreativitas. Di negeri tercinta ini, awal matinya kreativitas dapat dikaitkan dengan sistem pendidikan tradisional yang amat sangat otoriter dan berpegang pada garis komando bahwa guru wajib dihormati, pendapatnya selalu benar, dan berhak penuh menegakan peraturan-peraturan berkaitan dengan kedisiplinan. 

Berikutnya adalah sikap siswa yang tidak suka dikritik, dan sebaliknya siswa tidak diberi kebebasan bereksplorasi. Sampai di sini, saya mengajak pembaca memperhatikan penggalan puisi Taufik Ismail berikut ini.

...wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca bila kami tak mampu mengembangkan kosakata
selama ini kami hanya diajar menghafal dan menghafal saja
mana ada dididik mengembangkan logika
mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra, 

Pak Guru sudah lama sekali mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama, dan rabun puisi
tapi mata kami kan nyalang bila menonton televisi.....

Meskipun puisi tersebut ditulis pada tahun 1997, tetapi masih relevan untuk melihat bagaimana kondisi pengajaran sastra saat ini yang hanya diisi kegiatan menghafal dan menghafal. Artinya, kemampuan eksplorasi siswa mengalami pengekangan.

Budaya instan sebagai dampak kemajuan teknologi ternyata mempunyai sisi negatif karena segala sesuatu mudah didapatkan dengan cepat. Ini menjadikan siswa malas berpikir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun