Sesungguhnya ada dua hal penting yang dapat dipahami dalam bersastra. Pertama berkaitan dengan pemahaman kita terhadap kreativitas. Kedua, berkenaan dengan kemampuan  bersastra.
Selama ini jarang sekali kita melekatkan makna kreativitas dalam pengertian  luas. Kita hanya berhenti pada pemikiran bahwa kreativas merupakan kemampuan seseorang dalam menciptakan hal  baru.
Kenyataan itu  terjadi karena kita terjebak dalam pola pemikiran  terbatas. Kondisi ini diperparah oleh sistem pendidikan yang semula tidak memberikan ruang eksplorasi  cukup luas bagi anak didik. Sebaliknya, anak didik selalu dituntut untuk menghafal di luar kepala bahwa puisi ini karya si itu, termasuk dalam angkatan anu dengan ciri begini-begitu....
Ini merupakan tantangan bagi kita untuk menciptakan anak didik dengan  daya kreativitas  mumpuni dan ngedab-edabi.
Bagaimana jalan paling sederhana untuk melahirkan anak didik kreatif?
Bisa dilakukan dengan cara memberi ruang eksplorasi  lebih luas dan  kesempatan bagi anak didik  mengajukan pertanyaan, mengembangkan ide-ide dengan tidak dibatasi pada "kebenaran" yang seolah-olah hanya menjadi milik guru.
Setidaknya guru memberi peluang dengan  menghargai ide-ide kreatif dari anak didik. Jangan memaksakan kehendak, misalnya saat mengajarkan membaca puisi "Aku" (Chairil Anwar) guru mewajibkan  puisi itu harus dibaca dengan gaya patriotisme yang berlebihan-seperti banyak dilakukan pembaca puisi.Â
Puisi "Aku" bisa saja dibacakan dengan tenang, seakan-akan pembaca mempertanyakan siapa aku (diri sendiri) yang  sesungguhnya (eksistensialisme).
Apakah penyadaran seperti itu akan bermanfaat bagi pengajaran sastra?
Ini pertanyaan yang tidak mudah  dijawab. Tetapi setidaknya upaya tersebut akan memberikan alternatif, memberi pilihan lain, melatih anak didik untuk tidak mempercayai sepenuhnya "kebenaran" tunggal yang disodorkan guru mereka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keinginan tersebut merupakan pekerjaan berat bagi siapa pun karena kita akan mengubah kebiasaan menghafal menjadi sesuatu yang eksploratif dan kreatif.
Pernyataan di atas sekaligus  memaksa kita memahami definisi kreativitas  tidak sekadar merupakan kemampuan seseorang dalam menciptakan hal-hal  baru.
Perlu digarisbawahi bahwa jika kita ingin menjadi orang kreatif, maka hal pertama yang harus dilakukan  adalah kebersediaan membaca "teks kehidupan", tanpa itu maka kita menjadi buta dalam memahami persoalan kehidupan ini.Â
Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa kreativitas sesungguhnya dapat didefinisikan dari empat sisi, yaitu dari pribadi, pendorong, proses dan produk.Â
Dari sisi pribadi, kreativitas  merupakan suatu tindakan yang muncul dari keadaan pribadi yang unik dan khas, sebagai tanggapan terhadap lingkungannya.Â
Dari segi pendorong---kreativitas diartikan sebagai suatu inisiatif, suatu gagasan yang merupakan perwujudan dari kekuatan pikir dan imajinasi seseorang yang merangsang munculnya pola pikir, wawasan, dan tindakan-tindakan baru.Â
Dari segi proses---kreativitas merupakan bentuk berpikir  yang menghasilkan sesuatu yang baru, seperti: cara-cara yang baru dalam mendekati suatu permasalahan, hasil-hasil karya yang bercorak baru, atau unsur-unsur baru yang belum pernah  ditemukan sebelumnya.Â
Dari segi produk---kreativitas dipandang sebagai terciptanya sebuah karya baru yang menunjukkan komposisi baru dan nilai-nilai baru.
Pada titik ini, kita bisa meyakini bahwa orang kreatif selalu bersikap terbuka terhadap persoalan di sekelilingnya, bersedia menerima perubahan dan menghadapi tantangan, selalu mencari dan menemukan hal-hal baru, serta mampu menghasilkan sesuatu sebagai reaksi dan bentuk komunikasi terhadap lingkungan.
Lalu apa kaitan sastra dan kreativitas dalam konteks pembicaraan  kali ini?
Sastra dan kreativitas bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Baik pembacaan maupun penulisan karya sastra memerlukan kreativitas.Â
Dalam pembacaan karya sastra, setidaknya dibutuhkan tiga macam kreativitas (dari tujuh macam kreativitas, seven of kinds, yang seharusnya ada dalam diri manusia), yaitu verbal/linguistis, spasial, dan kinestetis tubuh.Â
Sedangkan dalam penulisan karya sastra (puisi) diperlukan kreativitas verbal/linguistis, spasial, musikal, Â intrapersonal, dan interpersonal.
Baik pembacaan maupun penulisan karya sastra, keduanya harus melewati proses kreatif  yang terdiri atas empat tahapan, yaitu persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi.Â
Perlu mengingat kembali bahwa baik pembacaan maupun penulisan, keduanya termasuk dalam ranah seni. Membaca adalah seni pengucapan (spreekunst), sedangkan menulis merupakan seni memilih kata (diksi).
Apakah pernyataan di atas dapat dijelaskan secara konkret?
Tentu saja bisa. Kita ambil contoh saat membaca puisi, tentu tidak semua puisi bisa dibacakan seperti kita membaca puisi "Aku" (Chairil Anwar). Masing-masing puisi memerlukan kreativitas dalam pembacaannya.Â
Contoh  ekstrim, misalnya saja puisi Rendra "Nyanyian Angsa" apakah akan dibacakan dengan gaya bahkan speed dan irama atau cara yang sama dengan puisi "Aku"?
Tentu saja tidak. Puisi Rendra merupakan puisi naratif panjang dengan beberapa tokoh, memiliki alur, latar tempat dan latar waktu. Dengan demikian pembacaannya tidak bisa dilakukan seorang diri, lebih cenderung dibacakan secara berkelompok  dengan melakukan dramatisasi/teaterikalisasi puisi.
Mengapa terjadi perbedaan cara membaca puisi yang satu dengan puisi lainnya?
Semua  terjadi karena tuntutan dari puisi itu sendiri. Tepatnya tergantung pada unsur roh/jiwa puisi atau the nature of poetry. Artinya, perbedaan cara membaca puisi tergantung kepada nada (tone)-- sikap penyair yang dirasakan pembaca pada saat membaca puisi, kadang erat kaitannya dengan rasa.Â
Nada puisi dapat dinyatakan secara eksplisit maupun implisit; amanat/tujuan (intention), tujuan penyair dalam menuliskan puisinya. Hal ini biasanya sangat tergantung pada pandangan hidup, keyakinan yang dianut, pekerjaan, dan cita-cita penyair; Â dan yang terakhir tergantung pada pokok persolan/tema (sense) yaitu pokok persoalan yang hendak dikemukakan penyair, biasanya tersamar dan harus ditafsirkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H