Sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya menyukai deklamasi. Beberapa puisi saya hafal, misalnya saja "Aku", "Doa" (keduanya karya Chairil Anwar), dan "Padamu Jua" (Amir Hamzah). Meskipun saat itu (di Kuala Tungkal, Jambi), orang membaca puisi dianggap mengada-ngada, berteriak-teriak seperti orang gila, saya tidak ambil pusing. Sayangnya setiap kali mengikuti lomba deklamasi atau baca puisi mewakili sekolah -- sampai duduk di bangku SMA -- tidak pernah menang sekalipun.Â
Meskipun begitu, kecintaan terhadap puisi terus mendera sampai ketika kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Saya menyadari jika kekalahan saya saat lomba  baca puisi karena ketidakjelasan artikulasi pengucapan.Â
Ketika kesadaran itu datang, saya langsung mencari cara bagaimana agar tetap dekat dengan kegiatan pembacaan puisi, tapi tidak harus membaca puisi. Â Apa yang kemudian saya lakukan adalah mencari jalan bagaimana dipercaya menjadi juri pembacaan puisi.Â
Saya ingat betul, pertama kali menjadi juri dalam lomba baca puisi yang diadakan oleh Keluarga Mahsiswa Sastra Indonesia di Fakultas Sastra UGM. Setelah itu tawaran menjadi juri lomba baca puisi pun terus ndlidir, mengalir.
Setelah bekerja, profesi  menjadi juri baca puisi terus membuntuti. Sampai-sampai dipercaya oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga DIY, membimbing siswa-siswa yang mewakili Provinsi Daerah Istimewa Yogyakart ke tingkat nasional.Â
Ada hal menarik saat ngobrol dengan guru pembibing dan siswa seusai lomba. Berikut beberapa pertanyaan dan jawaban yang saya berikan.
Apa yang harus dipersiapkan dalam lomba baca puisi?
Langkah pertama yang harus diperhatikan adalah peraturan yang diterapkan panitia. Hal ini menjadi penting agar peserta tidak dirugikan. Untuk itulah sebenarnya pertemuan teknis sebelum lomba memiliki arti bagi penyelenggara dan peserta dalam menemukan kesepakatan-kesepakatan. Â Misalnya saja pembacaan tidak diperkenankan diiringi musik, tanpa menggunakan sound effect, dan tanpa pelantang.Â
Hal lainnya melakukan apresiasi terhadap puisi yang hendak dibaca. Cara sederhana dengan membaca berulang kali puisi tersebut hingga memahami isi dan tone puisi. Tone berkaitan dengan tuntutan bagaimana cara membacakan puisi itu (apa maunya puisi). Sebagai contoh, puisi yang berisi doa, tidak mungkin dibacakan dengan berteriak lantang.
Dalam perlombaan baca puisi, hal apa saja yang dinilai?
Secara sederhana ada tiga hal yang menjadi pertimbangan dewan juri, yaitu apresiasi, vokalisasi, dan ekspresi (termasuk gesture dan kreativitas).