Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Mantra Kutukan sampai Bajralepa: Fakta-fakta Menarik Seputar Candi

23 Agustus 2023   13:16 Diperbarui: 23 Agustus 2023   18:51 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bukan Rara Jonggrang/Foto: Hermard

Meskipun tinggalan-tinggalan dari masa lalu tidak selalu dapat diidentifikasikan fungsinya sebagai candi, tetapi oleh masyarakat setempat biasanya akan dinamai candi. Padahal bisa saja tinggalan itu merupakan bekas istana, pertapaan, fasilitas pemujaan, bekas permukiman, pemakaman atau yang lain. Agaknya, candi sudah menjadi nama generik yang mewakili semua tinggalan dari masa ketika masyarakat di Jawa hidup dalam tatanan agama Hindu dan Budha (Mahatmanto).

Pada tahun 2012, kami (Noer Indrijatno Eska, Herry Mardianto, Indah AN, dan Mahatmanto) diminta oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (kini Dinas Pariwisata) Kabupaten Sleman menulis mengenai candi-candi di Sleman. Tulisan  tersebut kemudian terbit dalam bentuk buku dengan judul Sleman: Wisata Seribu Candi (The Land of Thousand Temples Sleman) yang edisi bahasa Inggrisnya mengalami cetak ulang pada tahun 2017.

Tembok candi Barong bak benteng Takeshi/Foto: Hermard
Tembok candi Barong bak benteng Takeshi/Foto: Hermard
Dalam menulis buku tersebut, kami menemukan fakta-fakta menarik yang mungkin jarang diketahui masyarakat luas. Semisal, mengapa ada candi (di dusun Candisari, Bokoharjo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta) bernama Barong? 

Bukankah barong lebih identik dengan masyarakat dan budaya Bali? Ternyata nama Barong diberikan oleh penduduk setempat karena pada relung tubuh candi terdapat hiasan kala lengkap dengan rahang bawah yang tampak seperti Barong.

Candi Ijo/Foto: Hermard
Candi Ijo/Foto: Hermard
Candi Ijo, terletak di area perbukitan di sekitar kompleks Ratu Boko, tepatnya di dukuh Groyokan, Sambirejo, Prambanan, Sleman, dibangun sebagai tempat pemujaan dari masa klasik (pengaruh Hindu-Budha) Jawa Tengah, berdasarkan data epigrafi diperkirakan antara tahun 850-900 M, saat pemerintahan raja Rakai Pikatan dan Rakai Kayuwangi (prasasti dari Raja Balitung).

Candi ini memiliki fakta yang cukup menarik. Candi ini pertama kali ditemukan oleh H.E. Dorrepaal pada tahun 1886 dengan temuan berupa lingga- yoni di bilik candi induk dan tiga buah arca batu, yaitu  Ganesha, Syiwa, dan sebuah arca tanpa kepala bertangan empat, salah satu dari empat tangan tersebut membawa cakra. 

Sebuah prasasti yang ditemukan di atas dinding pintu masuk candi bertuliskan Guywan atau Bluyutan yang berarti 'pertapaan'. Sementara sebuah prasasti dengan ketinggian 15 centimeter memuat kalimat mantra kutukan yang diulang-ulang sebanyak 16 kali, berbunyi Om sarwwawinasa, sarwaawinasa... (hancur semua, binasa semua...). 

Prasasti-prasasti yang tidak berangka tahun tetapi dari sudut paleografis diperkirakan dari abad 8-10 M tersebut hingga kini masih menyimpan misteri, apakah gerangan yang terjadi pada masa itu sehingga disebutkan semuanya hancur binasa....

Merumput di candi Abang/Foto: Hermard
Merumput di candi Abang/Foto: Hermard
Fakta penghancuran (penimbunan) candi terjadi pada candi Abang di Jogotirto, Berbah, Sleman. Candi yang terbuat dari bata merah (abang) berbentuk segi empat dengan  ukuran 36 x 34 meter. 

Sayangnya (seperti pernah saya ceritakan di tulisan lain) bentuk candi yang sesungguhnya tidak dapat disaksikan lagi karena candi Abang sengaja ditimbun tanah agar bangunan candi yang tersusun dari batu bata merah tidak longsor. 

Di samping itu untuk menjaga candi agar tidak dirusak/digali orang-orang pencari barang berharga peninggalan sejarah. Konon, penduduk sekitar menganggap bahwa candi Abang merupakan tempat penyimpanan harta karun.

Kimpulab: candi pinggiran/Foto: Hermard
Kimpulab: candi pinggiran/Foto: Hermard
Candi Kimpulan merupakan satu-satunya candi yang berada di kompleks kampus perguruan tinggi (Universitas Islam Indonesia), di antara gedung-gedung tinggi. Arsitektur candinya terasa tidak lazim, berbeda dengan gaya candi-candi di kawasan Jawa Tengah yang secara vertikal terdiri atas kaki, tubuh, dan atap. 

Candi Kimpulan tidak memiliki bagian tubuh dan atap, hanya bagian kaki saja. Struktur bangunannya merupakan kombinasi batu dan kayu. Penutup atap diperkirakan menggunakan bahan yang mudah lapuk (bambu/kayu). 

Tidak seperti candi Prambanan, misalnya, sebagai candi kerajaan dengan ukiran indah, candi Kimpulan hanya merupakan candi desa sederhana yang dibangun penduduk di pinggiran ibu kota kerajaan.

Sunset Ratu Boko/Foto: Hermard
Sunset Ratu Boko/Foto: Hermard
Bangunan utama situs Ratu Boko (terletak di ketinggian 196 dari permukaan laut, di kecamatan Prambanan, Sleman) ditemukan pertama kali pada tahun 1790, dan pemugaran situs dimulai tahun 1938. Usaha tersebut dilanjutkan pemerintah Indonesia sejak tahun 1952. 

Meskipun didirikan oleh seorang Budha, candi ini memiliki unsur- unsur Hindu, dibuktikan dengan adanya lingga dan yoni, arca Ganesha, serta lempengan emas bertuliskan "Om Rudra ya namah swaha" sebagai bentuk pemujaan terhadap dewa Rudra (nama lain Dewa Syiwa) yang membuktikan adanya toleransi umat beragama saat itu.

Begitu banyak bangunan di kompleks ini yang masih menyisakan misteri.  Misalnya saja bangunan luas berupa tempat perabuan di sebelah kiri gapura utama yang menyiratkan adanya kegiatan kremasi rutin. 

Apa fungsi sesungguhnya dari bangunan ini agaknya memerlukan penelitian yang lebih mendalam, misalnya apakah tempat ini semula berfungsi sebagai semacam altar atau tempat sesajen.

Candi Kalasan/Foto: Hermard
Candi Kalasan/Foto: Hermard
Sebagaimana candi Sari, tubuh candi Kalasan-dikenal juga sebagai candi Kalibening atau candi Tara (terletak di desa Kalibening, Kalasan, Sleman) dipenuhi banyak hiasan indah dengan pahatan batu  halus. 

Selain itu, ornamen dan relief pada dinding luar dilapisi bajralepa, sejenis semen kuno berwarna kekuningan, terbuat dari pasir kwarsa, tanah liat, dan getah beberapa tanaman. Fungsinya sebagai perekat dan pelindung untuk menjaga keutuhan ukiran serta memperindah relief dinding candi. 

Lapisan bajralepa jarang ditemukan pada candi-candi di kawasan Prambanan selain candi Sari yang memiliki keterkaitan dengan pembangunan candi Kalasan. Candi Kalasan merupakan tempat peribadatan, sedangkan candi Sari berfungsi sebagai asrama bagi para biksu Budha.

Keberadaan kepala kala besar yang disebut banaspati (raja hutan) mungkin mengisyaratkan bahwa candi Kalasan merupakan lambang  dari hutan yang sunyi, tempat sang raja hutan berkuasa. 

Dapat juga diartikan candi sebagai perlambang dari pegunungan yang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan hutan. Hutan dan pegunungan merupakan tempat bertemunya  alam biasa dan alam gaib, hidup dan mati, Tuhan dan manusia...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun