Secara kebetulan, dua orang teman pada hari Rabu (2/8/2023) Â menulis soal bahasa di status facebook mereka. Teguh Dewabrata (Biro Humas Kemendikbudristek, Jakarta) menulis bahwa bahasa mampu menunjukkan perasaan, adab, sensitivitas, dan kekayaan leksikon serta diksi seseorang. Bahasa juga mengajarkan seseorang bagaimana menikmati rasa cinta: mencintai dan dicintai.
Sementara itu Didid Dananto (penggagas Museum Gresek, Yogyakarta) berupaya merespon "tipis-tipis" situasi horeg belakangan ini di bawah judul "Makian Bajingan, Bangsat, Tolol itu Bukan Tikyan Banget". Ini merupakan semacam antitesa pemahaman terhadap keberadaan tikyan dan cendikiawan.Â
Didid yang dikenal  sebagai pembina anak-anak pinggir kali (girli) Code dan anak jalanan bersama Romo Mangunwijaya menceritakan  saat tikyan (anak jalanan) generasi awal 1980-an menjadikan jalanan sebagai ruang hidup di usia belia mereka, maka nilai-nilai jalananlah yang membentuk gaya bicara, perilaku, dan sikap mereka terhadap orang lain. Â
Tanpa mempertimbangkan konteks keberadaan tikyan saat itu, maka keberadaan mereka akan sangat terkesan menjijikan, bahkan meneror masyarakat.
Perilaku, merokok, thithikan (judi), menyantap hoyen (sisa makanan dari restoran), atau bahkan berkunjung ke "niyang", misalnya, sangatlah mengusik keamanan dan kenyamanan moralitas masyarakat.
Guyonan antar tikyan, dikenal  sebagai gojeg kere, hingga ekspresi verbal semacam bajingan, bangsat (yang  belakangan ini viral karena ternyata seorang cendekiawan pun menggunakannya), sungguh bikin merinding.
Teguran halus penuh welas asih hingga teguran kasar dari masyarakat kepada tikyan karena gojeg kere itu, mengajarkan  mereka untuk bersikap lebih santun. Salah satunya mengganti umpatan seperti bajingan, bangsat, tolol dengan kata yang lebih bisa diterima masyarakat.
Lewat pertemuan para tikyan, lalu disepakati "kebijakan" baru mengenai umpatan di lingkungan tikyan.  Misalnya, umpatan untuk hari Senin  diganti dengan nama alat-alat dapur, maka wajan, kompor, sothil, parut, uleg-uleg dan lain-lain menjadi pilihan kata umpatan.
"Barang siapa keceplosan menggunakan umpatan seperti beliau intelektual itu, didenda dua puluh lima rupiah. Dendanya untuk menambahi tabungan ngontrak rumah singgah tahun berikutnya. Hari lainnya, umpatan diganti lagi seseuai kesepakatan tikyan, seperti jenis kendaraan, nama buah," tulis Didid.
Problem mengumpat terselesaikan. Tikyan tetap bisa mengumpat, tetangga terhibur kadang tertawa gemas.
Saya membayangkan kalau Didid bersama para tikyan saling mengumpat: dasar kedondong, dasar uleg-uleg,  dasar becak! Tak ada lagi kata bangsat, bajingan, tolol, terlontar dari para tikyan.
Terlebih kata umpatan tiga terakhir itu, saat ini sedang disematkan kepada salah seorang akademisi dan intelektual yang  meradang di sebuah acara diskusi.
Melalui bahasa, kita bisa mengekspresikan siapa diri kita dan bagaimana kita ingin dilihat oleh orang lain.Â