Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Perempuan Bertutur: Meneguhkan Fiksi Mini dan Membasuh Luka

29 Juli 2023   18:13 Diperbarui: 29 Juli 2023   20:10 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peluncuran Morse/Foto: Hermardd

Tiba-tiba saja, Sabtu (29/7/2023) sore, Museum Sandi dibanjiri puluhan perempuan berkebaya. Dari pembawa acara, pembaca karya fiksi mini, sampai penari, didominasi oleh wajah-wajah cantik memesona. Tentu hal tersebut  tidak berlebihan karena memang  acaranya berkaitan dengan perempuan bertutur lewat peluncuran dan diskusi buku Morse (antologi fiksi mini) bertema "Fiksi Mini Perempuan Bertutur sebagai Warisan Generasi Masa Depan". Menghadirkan narasumber Ikun Sri Kuncoro, Alex Luthfi, Agus Leyoor, dan Sri Yuliati, dimoderatori Ahmad Zamzuri. 

Sebermula Perempuan Bertutur

Komunitas Perempuan Bertutur lahir berkat "terawangan" cerdas  dua orang perempuan,  Sri Yuliati Mukhamad (lulusan ISI Yogyakarta) dan Nena Cunara (alumni ASTI Bandung), terhadap media sosial yang banyak digunakan perempuan sebagai media curhat.

"Curhatan itu seringkali disalahartikan oleh pengguna medsos lainnya, sehingga muncul gagasan mengumpulkan perempuan-perempuan yang suka curhat dan meminta mereka menuliskan kegelisahan masing-masing lewat karya fiksi," jelas Sri Yuliati yang sejak duduk di sekolah dasar sudah menyukai sastra. Lepas dari bangku SMP di Grobogan, Purwodadi, ia hijrah ke Yogyakarta dan memenangi lomba baca puisi, deklamasi, serta monolog.

Perempuan Bertutur merupakan wadah bagi perempuan tanpa membedakan usia, latar belakang pendidikan, latar belakang hidup, suku, ras dan agama, yang ingin berbagi pengalaman dengan cara dituangkan atau dituturkan dalam bentuk tulisan berupa fiksi, khususnya fiksi mini.

Meskipun pandemi melanda Indonesia (2020) dan hampir semua aktivitas seni terhenti total, kondisi ini tidak menyurutkan niat  Sri Yuliati   dan  Nena Cunara membuat antologi. Dari sini lahirlah kumpulan cerpen 11 Perempuan Bertutur, dilaunching 13 Februari 2021, memuat karya cerpenis dari Yogyakarta dan luar Yogyakarta. 

Penulis tersebut, antara lain, Rin Riani, Teti Taryani, Titin Suryani (Jawa Barat),  Ditha Hasan, Purbalingga Anastasia Sri Kartisusanto, Erna Tri Wahyudiyanti (Bogor), Pia Cipta Murniningtyas (Semarang). Sedangkan nama-nama penulis Yogyakarta: Nena Cunara, Sri Yuliati Mukhamad, Nunung Rieta, dan Ludovica Mimi.

Setelah itu terbit antologi  Perempuan Bertutur 2, Tenedor Libre, berisi  110 fiksi mini (500 kata) dari 22 penulis perempuan  DIY, antara lain   Ariani Kartika, Choen Supriyatmi,  Indayati Oshine,  Kristina Koe, Nana Lusiana Boediman, dan Ninuk Retno Raras.

Perempuan Bertutur 3,  Morse: Merangkai Aksara Mengurai Sandi-sandi Kehidupan merupakan kumpulan 200 fiksi mini  (maksimal 250 kata), menghadirkan 40 penulis perempuan dari berbagi daerah di Indonesia.

Jika dalam antologi Tenedor Libre semua penulis berasal dari wilayah DIY,  berusia 50 tahun ke atas, maka dalam Morse tidak ada batasan umur. Penulis termuda,  Zahwa Amallia (18 tahun), siswi SMA 5 Yogyakarta, dan penulis  tertua, Tety Esnat  (71 tahun),  penulis senior berbahasa Sunda dari Sukabumi. Penulis lain berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan  Sulawesi.

Fiksi Mini atawa Flash Fiction

Melihat keunikan  fiksi mini, maka Komunitas Perempuan Bertutur menetapkan akan memilih dan mengembangkan fiksi mini. Terlebih  genre ini belum banyak dilirik komunitas lain.
Fiksi mini memberi ruang imajinasi seluas-luasnya kepada pembaca. Penulis bercerita dengan singkat padat, tidak  bertele-tele,  tetapi hadir sebagai cerita  utuh.

Fiksi mini sering disebut sebagai mikrofiksi atau flash fiction, merupakan bentuk naratif pendek, menyampaikan cerita lengkap dengan jumlah kata     terbatas. Meskipun begitu, tidak ada kepastian jumlah kata dalam fiksi mini. Umumnya cerita terdiri dari beberapa kalimat/paragraf,  tidak lebih dari 1000 kata. Bahkan ada yang membatasi tidak lebih dari 300 kata.

Kekuatan fiksi mini terletak pada kemampuannya menyajikan cerita  padat dalam ruang  terbatas. Penulis fiksi mini, mau tidak mau, menaruh perhatian dalam pemilihan kata dan penyusunan kalimat untuk menyampaikan cerita yang kuat dan efektif.

Fiksi mini bisa memiliki beragam tema, gaya, sama seperti cerita dalam bentuk naratif lainnya. Meskipun pendek, fiksi mini dapat menyentuh emosi pembaca, membangkitkan pemikiran, atau mengandung twist mengejutkan. Karena  singkat, fiksi mini  menjadi pilihan menarik bagi penulis dan pembaca yang ingin menulis/menikmati cerita dalam waktu singkat.

Genre ini menjadi populer di era media sosial dan internet karena dapat dengan mudah dibagikan dan dinikmati dalam hitungan detik. Beberapa platform media sosial bahkan menetapkan batasan karakter yang ketat, mendorong penulis menyampaikan cerita  dalam ruang   terbatas.

Suasana peluncuran dan diskusi Morse/Foto: Hermard
Suasana peluncuran dan diskusi Morse/Foto: Hermard
Dalam kata pengantar Morse, Ikun Sri Kuncoro menyatakan bahwa cerita yang berjudul "Yang Tak Dikangeni" ditulis Prihati Wuri Handayani, tersusun dari 143 kata. Cerita "Menyusun Buah Hati"  ditulis Entey Arsadi tersusun dari 258 kata. Dengan jumlah kata seperti itu, cerita bisa sempurna. Selesai. Final. Sebagai satu kesatuan yang otonom.

Fiksi mini adalah cerita yang dalam dirinya sendiri membangun aturan mainnya. Sebuah kebebasan untuk tidak menjadi cerita pendek yang dikenal umum yang tersusun dari 3000 kata lebih. Atau, sekitar 4-15 halaman kuarto spasi rangkap.

"Fiksi mini adalah satu pertanda praktik emansipasi: pembebasan dari perbudakan atau persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini kehidupan bersastra," papar Ikun.

Keriuhan Perempuan Bertutur 3

Acara di Museum Sandi  menjadi semakin regeng dengan hadirnya  tari Kebyar oleh U Dance Traditional (grup Sajiwa Kagama) dan tari Golek Ayun-ayun (Kristina Koe, Sri Harini, Titik Lestari, dan Andri Wuryani-Kristina merupakan salah satu dari 40 penulis Morse).

Kebyar dan Golek Ayun-ayun/Foto: Hermard
Kebyar dan Golek Ayun-ayun/Foto: Hermard
Dalam sambutannya, Setyo Budi Prabowo, Kepala Museum Sandi, menyampaikan bahwa seharusnya kita mencontoh  Komunitas Perempuan Bertutur yang terus berkarya memberikan manfaat untuk masyarakat.

Pembacaan fiksi mini/Foto: Hermard
Pembacaan fiksi mini/Foto: Hermard
Beberapa fiksi mini, antara lain,  "Wajah" (Nena Cunara) dibacakan oleh Novanda Lismana (SMA N 5 Yogyakarta), "Aku Lelaki" (Teti Taryani ) oleh Sabian Farrel (SMA N 1 Yogyakarta), dan "Kamar 305" (Nana Lusiana Boediman) oleh Patah Anshori (penggerak teater).

"Dalam pembacaan, kami sengaja melibatkan siswa SMA. Ini merupakan salah satu strategi agar generasi muda mencintai sastra," papar Sri Yuliati.

Zahwa membaca Morse/Foto: Hermard
Zahwa membaca Morse/Foto: Hermard
Zahwa Amallia, merasa senang terlibat dalam Komunitas Perempuan Bertutur karena dapat mengembangkan hobinya.

"Sejak duduk di bangku sekolah dasar saya memang suka menulis. Menulis merupakan media ekspresi di samping menggambar," ujarnya.

Perjamuan/Foto: Hermard
Perjamuan/Foto: Hermard
Anggota Komunitas Perempuan Bertutur lainnya, Ardini Pangastuti,  mengungkapkan alasannya aktif dalam dunia penulisan. Ia memaknai menulis tak sekadar merangkai aksara menjadi kata-kata, tetapi  kata-kata tersebut mempunyai makna. Artinya, menulis juga bisa menjadi terapi bagi jiwa, obat lara, pembasuh luka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun