Teater Maton pimpinan Agus Suprihono (sekaligus bertindak sebagai sutradara).Â
Jumat malam (21/7/2023), limasan Samoatmajan, Margokaton, Seyegan, Sleman, Yogyakarta, dipadati penonton yang ingin menyaksikan pementasan sandiwara berbahasa Jawa dengan lakon "Sri Dhemek: Ndang Balekno Sri" yang dipentaskanKursi plastik ditata mengelilingi "panggung". Area di depan panggung digelari tikar. Beberapa kamera dan lampu menyorot langsung ke arah panggung. Tamu terus berdatangan, termasuk Bu Carik dan perangkat desa Margokaton lainnya. Bulan sabit menggantung di langit, menjadikan suasana seputar limasan menjadi begitu temaram.
Dari kejauhan sudah terdengar musik karawitan Arum Sari dengan suara sinden yang begitu natural dan alami, tanpa upaya membuat cengkok aneh-aneh saat nembang Manyar Sewu, Sri Slamet, Bersih Desa, Mbok Yo Mesem, dan Gugur Gunung.Â
Malam itu, entah mengapa Kaminten, sinden utama, yang sudah berusia di atas enam puluh tahun terlihat sumringah dan suaranya terdengar merdu.
"Sinden-nya oke dan bagus. Saya senang masih ada kesenian Jawa yang hidup di pedesaan," ujar Teguh Dewabrata dari Biro Humas Kemendikbudristek, Jakarta, sesekali ia nembang mengikuti suara Kaminten: E, e, e, mbok yo mesem, mrengut pedahe apa...
Sebelum pementasan, Ely Andra Widharta (Kelompok Sedhut Senut-KSS) menyampaikan bahwa pementasan "Sri Dhemek" di limasan Somoatmajan merupakan rangkaian Festival Milangkori 2023, yaitu program kegiatan KSS dengan dana dari Indonesiana, Kementerian Pendidikan, LPDP Kementerian Keuangan.
"Kami mendapat hibah untuk organisasi kebudayaan yang berjejaring dengan teman-teman berbasis tradisi di DIY," jelas Ely Andra.
Pilihan terhadap sandiwara berbahasa Jawa karena bahasa ibu mempunyai daya ungkap yang strategis. Sekaligus upaya pemajuan dari kebudayaan. Terlebih sandiwara radio berbahasa Jawa kalah populer dibandingkan kethoprak. Ini merupakan upaya agar masyarakat mencintai sandiwara radio berbahasa Jawa.
Tantangan juga diberikan kepada sutradara karena setiap kelompok harus memainkan naskah "Sri Dhemek". Keberhasilan masing-masing kelompok tergantung kepada tafsir, gaya, dan kepiawaian sutradara menafsirkan naskah.Â
Penampilan Komunitas Tombo Kangen (Gunungkidul), Teater Menggleng (Gunungkidul), Teater Kawat (Bantul), Kelompok Tani Maju (Sleman), Komunitas Maton (Sleman), Paguyuban Entertainment Kulonprogo, Sanggar Wani Isin (Kota Yogyakarta), dan Teater Gunung Sewu (Gunungkidul) tentunya memiliki penekanan yang berbeda-beda sehingga setiap kelompok akan mempunyai keunikannya masing-masing dalam mengetengahkan persoalan bank plecit yang dijalankan Bambung dan dimodali Sri Dhemek.
Meskipun saat latihan pementasan "Sri Dhemek" ada rasa pesimis Agus Suprihono terhadap pementasan Teater Maton, tapi pementasan di hadapan dewan juri Festival Milangkori, tidak mengecewakan.
Setidaknya ini diperlihatkan oleh kuatnya penampilan tokoh Sri Dhemek, Menik, Bambung, dan Dodo. Dialog-dialog mereka mengalir dengan baik. Pun juga guyonan yang dilontarkan mendapat sambutan dari penonton, meskipun guyonan mereka kadang kebablasen, terasa vulgar, terlebih banyak penonton berusia remaja dan kanak-kanak.