Pada tahun 1960, Nini Thowong hadir kembali, meskipun sekitar tahun 1965 karena kondisi ekonomi melemah, masyarakat meninggalkan kesenian ini. Nini Thowong muncul kembali ke permukaan pada tahun 1980 ketika pemerintah menaruh kepedulian terhadap kesenian rakyat.
Pengertian Nini Thowong juga berkaitan dengan kata nini (mengacu kepada sosok perempuan tua) dan thowong (dientho-entho kaya uwong-dimirip-miripkan seperti orang, meskipun dalam bentuk boneka bambu).
Kemudian diiringi  alat musik gangsa, saron, dan kendang. Dalam perkembangan terakhir terdapat demung, peking, kendang, kempul, gong suwukan, dan saron.
Proses pertunjukan diawali dengan menginapkan Nini Thowong di pemakaman  umum Gruda selama satu malam.
"Ini merupakan proses memasukan roh ke dalam Nini Thowong. Jadi saat pentas, sudah ada yang manjing," ujar Sumardi.
Esoknya orang-orangan Nini Thowong dijemput dari kuburan dan dibawa ke tempat pertunjukan.
Nini Thowong merupakan tokoh populer dalam cerita rakyat Jawa, khususnya di wilayah Yogyakarta. Ada yang berpendapat  bahwa Nini Thowong mewakili ketakutan dan kecemasan kolektif masyarakat, khususnya terkait penuaan, kematian, dan hal-hal di luar nalar.
Ketakutan menjadi tua dan kehilangan kecantikan adalah tema umum dalam cerita rakyat. Transformasi Nini Thowong dari seorang wanita muda menjadi entitas yang menakutkan dapat dimaknai sebagai cerminan dari ketakutan itu.
Dia sering digambarkan sebagai wanita  dengan rambut panjang acak-acakan, dipercaya memiliki kekuatan supranatural.