Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Buku Unik Sumber Inspirasi

20 Juni 2023   15:27 Diperbarui: 20 Juni 2023   17:25 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batik Vajra Java/Foto: Hermard

Benda kenangan apa yang akan kita berikan kepada tetangga dan sanak saudara dalam memperingati  seribu hari orang-orang  tercinta menghadap sang Ilahi? Buku Yasin, sajadah, payung, sarung, mukena, handuk? Atau kita punya pilihan lain yang tidak mainstream?

Suatu ketika seorang karib datang memberikan buku Mas Guntur Siapa pun Dia... berukuran tidak biasa,  15 x 18, full color dengan kertas ivory.  Sesuatu yang langsung mencuri perhatian adalah tulisan yang ada di cover, selain nama penulis  dan judul buku, ada keterangan: kenangan seorang istri. 

Artinya ini merupakan buku yang ditulis dan diterbitkan secara khusus, istimewa. Benar saja, di halaman empat tertulis keterangan: 

untuk mengenang seribu   hari berpulangnya Mas Guntur ke haribaan Sang Khalik, aku ingin menuliskan  catatan kecil selama tiga puluh empat tahun  hidup bersama sebagai istrinya.

Mas Guntur/Foto: Hermard
Mas Guntur/Foto: Hermard
Dengan begitu, sesungguhnya buku ini bersifat personal. Meskipun demikian, ternyata tidak sekadar menceritakan    kisah cinta penulis, Sri Harini, dengan suaminya, Mas Guntur. Lebih dari itu, buku ini menceritakan momen perjalanan hidup dan  karya besar Mas Guntur. 

Di sana-sini (dalam buku ini) ada keinginan mengedukasi pembaca berkaitan dengan sejarah, kegigihan mempertahankan prinsip hidup, dan penghargaan terhadap peninggalan masa lalu (candi Borobudur dan batik).

Saat menggambarkan masa kecil Mas Guntur, misalnya, Sri Harini berupaya menyisipkan  "sejarah" wilayah Kotabaru, Yogyakarta, tempat tinggal keluarga Mas Guntur. Ia tidak sekadar menceritakan "kehebatan" menggambar Mas Guntur saat sekolah di SD Negeri Ungaran, tetapi memberi wawasan mengenai kawasan Kotabaru sebagai tempat  tinggal para pejabat dan pengusaha Belanda.

Ia menggambarkan letak rumah keluarga Mas Guntur berada persis di depan SD Ungaran (awalnya berupa gedung Europeesche Lagere School) di Kotabaru.

Wilayah Kotabaru merupakan kawasan yang dibangun pada tahun 1917 sebagai Nieuwe Europeesche Villa-park, wilayah hunian bagi pegawai tinggi Belanda, pengusaha, maupun administratur pabrik gula. 

Sampai saat ini, jejak Kotabaru sebagai taman kota masih dengan mudah dapat dicermati, misalnya dari banyaknya pepohonan rindang yang menghiasi jalan melingkar sepanjang Kotabaru. 

Benar-benar sebuah tempat hunian asri dan nyaman, apalagi dilengkapi dengan berbagai sarana dan fasilitas transportasi (stasiun Lempuyangan), kesehatan (rumah sakit DKT), tempat ibadah (masjid Syuhada dan gereja Santo Antonius Padua), pengaturan jaringan listrik (rumah listrik babon ANIEM), dan fasilitas lainnya.

Inspirasi Candi Borobudur

Di bagian akhir buku, Sri Harini menceritakan bagaimana setahun sebelum memasuki pensiun, suaminya hampir setiap malam menyibukkan diri di ruang atas. Bukan melukis di kanvas, tetapi membuat desain batik kontemporer dengan motif candi Borobudur.

Meskipun dunia Sri Harini berbeda dengan dunia Mas Guntur, diam-diam ia mengagumi kemampuan suaminya  memodifikasi motif-motif batik yang keluar dari pakem batik tradisional. 

Motif batik Borobudur/Foto: Hermard
Motif batik Borobudur/Foto: Hermard
Pewarnaan yang diberikan Mas Guntur dalam setiap karya batik sungguh berbeda. Ia menggunakan warna-warna tak biasa dan membubuhkan kontras dengan berani. Di dalam setiap desain karyanya, semua kontras itu memunculkan keseimbangan harmonis.

Blok-blok persegi yang mengisi bidang-bidang dalam desain batik karya Mas Guntur membentuk gambar candi Borobudur tampak dari atas.  Sri Harini menyadari bahwa suaminya mengadopsi bentuk-bentuk tersebut ke dalam karya desainnya sebagai refleksi kecintaan terhadap candi Borobudur. 

Sebagai sosok yang bekerja kurang lebih 30 tahun di lingkungan candi, tentu ia menginginkan Borobudur tetap eksis dalam karya desain batik yang lahir dari tangannya.

Candi Borobudur jelas menginspirasi karya-karya Mas Guntur. Relief- relief yang hampir tiap kali dilihat (sebagai Direktur Operasi dan Pengembangan PT Taman Wisata Candi Borobudur Prambanan dan Ratu Boko) begitu kuat terekam di benaknya sebelum akhirnya terlahir dalam bentuk karya desain   menarik. 

Eksotika batik motif candi Borobudur/Foto: Hermard
Eksotika batik motif candi Borobudur/Foto: Hermard
Karya desain batik Mas Guntur  memiliki roh karena dikerjakan tidak semata-mata berdasarkan teori dan penguasaan teknis, tetapi sebagai hasil penjiwaannya yang mendalam. 

Bahkan-karena mengadopsi dan memperkenalkan konsep-konsep filosofis sebagaimana  ditemui di candi Borobudur- ada yang menilai desain batik Mas Guntur kaya akan nilai edukasi, budaya, filosofi, dan perenungan mendalam mengenai candi Borobudur.

Sebenarnya sejak tahun 1969 ia sudah mulai melukis desain batik yang terinspirasi dari Borobudur. Pola itulah yang kemudian dikembangkan menjadi motif berupa tampilan bentuk blok persegi Borobudur tampak dari atas. 

Mas Guntur bahkan mempelajari arah ulir rambut Budha dan mencermati pohon Bodi untuk menciptakan motif-motif baru dalam desain kain batiknya.

Sebagai sebuah mahakarya, candi Borobudur menampilkan ajaran Budha tentang kehidupan manusia (Bodhicita) lewat simbol-simbol yang sangat terkenal, yaitu empat ajaran kebenaran mulia dan jalan mulia berunsur delapan yang mengantarkan manusia kepada tiga tingkatan kehidupan: kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu 

Empat ajaran kebenaran mulia dan jalan mulia berunsur delapan itu terfokus pada empat kenyataan agung, yaitu kebenaran tentang dukkha (penderitaan), kebenaran tentang asal mula dukkha, kebenaran tentang terhentinya dukkha, dan kebenaran tentang jalan menuju terhentinya dukkha. 

Konsep itulah antara lain yang diangkat dan diadopsi Mas Guntur dalam karya-karya desain batiknya. Bentuk blok-blok persegi yang menjadi salah satu ciri khas dalam karya desain batik Mas Guntur merupakan penanda dari delapan jalan kebenaran untuk mencapai pari nir bhana (nirwana). 

Karya yang mengadopsi filosofi agung candi Borobudur tersebut oleh Mas Guntur lalu diberi nama "Dharmadhatu Alit Borobudur" dan "Kumandhang Dharmadhatu Borobudur".

Mengakrabi candi Borobudur hampir tiap hari memungkinkan Mas Guntur mengolahnya ke dalam eksperimen desain batik. Hasilnya ia mampu berkisah mengenai kerimbunan daun pohon Bodhi yang meneduhi candi Borobudur atau masa lalu candi Borobudur yang dikelilingi kolam lewat desain batik. 

Hal ini setidaknya dapat mengedukasi atau pembelajaran bagi orang awam yang semula tidak mengenal ornamen candi Borobudur.

Mas Guntur selalu mengawali proses penciptaan karya dengan terlebih dahulu membuat sket gambar di atas kertas kalkir. Proses selalu dikerjakan malam hari di ruang atas. 

Setelah jadi, sket dalam skala sebenarnya dipindahkan ke kain sutera, kemudian diserahkan ke rumah produksi batik. Biasanya, Mas Guntur mempercayakan pengerjaan batik kepada rumah produksi batik di kawasan Sleman. 

Pemilik rumah produksi batik tersebut mengungkapkan kekaguman atas kejelian Mas Guntur dalam menentukan komposisi warna sehingga desain batik kreasi Mas Guntur menjadi tidak biasa dan mewah. 

Hal ini tidak dapat dilepaskan dari selera Mas Guntur dan pembawaannya yang selalu ingin sempurna dalam mengerjakan sesuatu.

Sebagai contoh adalah bagaimana Mas Guntur berjuang mendapatkan warna merah yang diinginkan. Mas Guntur mempunyai taste warna tersendiri, tidak ada yang menyamai. 

Warna merah yang dikehendaki Mas Guntur biasanya lebih mengarah ke warna klasik pantai utara, sehingga warna merah yang muncul bukan merah batik Jogja, tapi lebih mirip warna merah batik Lasem. 

Untuk mendapatkan warna sesuai keinginan Mas Guntur, maka pengrajin batik langganannya melakukan pencelupan warna berulang-ulang dan proses itu diarahkan langsung oleh Mas Guntur. 

Pernah ketika warna merah sudah didapat, Mas Guntur meminta untuk mencelup sekali lagi dengan warna gelap agar merahnya menjadi lebih redup. Benar saja, hasil yang didapatkan memang istimewa.

Contoh lain, warna rambut Budha mengalami penumpukan warna sampai tiga-empat kali untuk mendapatkan gradasi yang diinginkan. 

Di rumah produksi batik inilah proses nyorek, nyanting, nembok, mbabar dan nglorod dilakukan hingga akhirnya batik karya Mas Guntur di bawah bendera Vajra Java tercipta. 

Vajra dapat dimaknai sebagai simbol kekokohan jiwa dan kekuatan spiritual, memohon pada Sang Maha Pencipta untuk mendapatkan pencerahan dengan cara berdoa sungguh- sungguh sehingga mendapatkan hal-hal yang tidak terduga (spektakuler).

Banyak sahabat dan relasi  mengakui bahwa karya Mas Guntur berbeda dengan motif batik yang sudah ada dan patut mendapatkan apresiasi. Setidaknya ini dibuktikan dari banyaknya pesanan batik karya Mas Guntur. Tidak main-main. pesanan itu berasal dari berbagai kalangan, baik kolega, pejabat maupun artis-artis terkenal.

Buku sebagai Kenangan

Seandainya masyarakat kita berpikiran seperti Sri Harini, mengenang orang-orang terkasih dengan menerbitkan buku, niscaya akan melahirkan penulis-penulis baru dengan daya kreatif masing-masing. 

Motif Borobudur/Foto: Hermard
Motif Borobudur/Foto: Hermard
Perlu dicatat bahwa Sri Harini bukan seorang penulis, tetapi ia punya niat dan hasrat mengenang keberadaan suami lewat tulisan yang bisa dibagikan dan dibaca berulangkali.

Bagaimana, sudah siap menuliskan cerita mengenai orang-orang terkasih yang pernah mengisi kehidupan kita? 

Mari mulai mengembangkan imajinasi dan menuliskannya menjadi buku yang bisa menginspirasi banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun